Ponpesgasek.id, Kang Noval namanya. Seorang santri dari salah satu Pondok Pesantren di Jombang. Ia terkenal cerdas, rajin dan pintar. Selama 9 tahun mondok, ia habiskan waktunya untuk belajar, muthola’ah, dan hafalan. Motto hidup yang ia pegangi selama di pesantren adalah “iso ora iso sing penting ngaji, lalaran, syawir, lan apalan (bisa gak bisa yang penting, belajar, mutho’laah, musyawarah dan hafalan)”. Tidak heran, karena kegigihannya tersebut ia banyak menguasai kitab kuning, mulai dari fiqih, nahwu, shorof, tasawuf, dan usul fiqh. Bahkan, tidak sedikit yang ia hafalkan diluar kepala, seperti Nadzam Al-fiyah ibnu Malik, Nadzam Imrithi, Qaidah Fiqhiyah dan Ushul Fiqh, dan 1000 hadits shohih bukhori muslim. Karena kedalaman ilmunya inilah, ia sangat disegani oleh santri yang lain. Selain itu, Kang Noval juga sering ditunjuk oleh Kyai Ulin Nuha untuk menggantikan ceramahnya di masyarakat ketika beliau berhalangan.
***
Di era modern ini tentu tantangan santri semakin berat. Bukan hanya dituntut untuk bisa paham ilmu agama saja, tetapi juga dituntut untuk faham keilmuan umum lainnya. Atas dasar inilah, Kang Noval ingin meneruskan studinya ke Perguruan Tinggi. Kata Kang Hadi teman sekamar Kang Noval, bahkan Kang Noval sendiri pernah sowan ke Abah Kyai tentang rencananya untuk meneruskan studi ke salah satu Perguruan Tinggi di Malang.
“Lalu, gimana kata Pak Kyai, kang? Beliau mengizinkan apa tidak?”, sahut Kang Karim dalam obrolan ringan di warung Mbok Paijah kala itu. “Iya, Pak Kyai mengizinkan dan berpesan kepada Kang Noval untuk selalu menjaga akhlaq dan berpegang teguh terhadap faham ahli sunah wal jama’ah”, jawab Kang Hadi.
“Wah, disayangkan.., bentar lagi kita akan ditinggal Kang Noval, terus siapa nanti yang akan memimpin syawir di kelas?, mewakili bahtsul masa’il antar pondok se-Jawa Timur?” Kata Kang Qowim, temen satu kelas diniyah Kang Noval. “Keluasan ilmunya itu lho, belum ada tandingannya di pesantren ini. Selain itu, kalian ingat ketika pondok kita diundang bahtsul masa’il di Pondok Ploso, Kediri?, coba siapa yang ditunjuk Pak kyai dari kalangan santri yang ikut bahtsul masa’il tersebut?, iya tak lain Kang Noval Bukan?”.
“Iya, kalian yang menggantikan aku nanti kang”, sahut Kang Noval yang datang tiba-tiba dari belakang sambil menepuk bahu Kang Karim. Sambil duduk disamping Kang Karim, Kang Novel memesan secangkir kopi dan mulai menyalakan sebatang rokoknya. Kemuadian Kang Noval barpamitan kepada mereka karena besok ia harus pergi ke Malang untuk melaksanakan Kuliah Perdananya di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. “Besok aku mau pergi ke Malang Kang. Selama aku tinggal nanti, kalianlah yang menggantikanku. Jangan takut, dan merasa minder. Setiap orang itu sebenarnya sama saja, tinggal bagaimana usahanya. Kalian semua harus berusaha keras kang. Ingat man jaddaa waa jadda (siapa yang bersungguh-sungguh iya akan sukses),” pesan Kang Yafi kepada 3 temannya tersebut.
“Iya kang, kami akan berusaha melaksanakannya. Jangan lupa, do’akan kami semoga bisa menirumu kang”, kata Kang Qowim sambil memeluk Kang Noval erat-erat. “Dan Jangan lupa kang, kamu harus ingat wejangan Kyai Ulin. Dimanapun kamu berada, kamu harus jaga akhlaq dan aqidah ahli sunnah wal jama’ah. Jangan sampai terpengaruh oleh akidah lain. Dan satu lagi, jiwa nasionalis dan patriotismu jangan sampai luntur. Kamu masih ingatkan cerita Kyai tentang kisah Mbah Hasyim Asy’ari saat meyemangati santri dalam kejadian resolusi jihad..?”, bisik Kang Qowim Lirih ditelinganya, dan Kang Noval pun hanya menganggukkan kepala dengan raut muka sedih karena harus meninggalkan sahabatnya. “Selamat jalan kang, hati-hati disana..”, kata ketiga sahabat Kang Noval kepadanya.
***
Angkot berwarna biru dengan jurusan Terminal Arjosari dan Landungsari itu mengantarkan Kang Noval sampai depan pintu gerbang Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. Sambil berjalan menuju ma’had Jami’ah UIN Malang, Kang Noval menggantungkan segala harapan dan cita-citanya di Kampus Ulul Albab tersebut. Dalam hati kecilnya, ia berdo’a semoga Allah mempermudah dalam tholabul ilmi di kampus ini.
Sesampainya di Ma’had jami’ah, Kang Noval tinggal di mabna al-ghazali satu kamar dengan 5 teman lainya, yaitu Kang Firli, Kang Yafi, Kang Falah, Kang Mutawakil, dan Kang Hasbi. Dari ke 5 temennya tersebut, Kang Firlilah yang bukan alumni pesantren. Melainkan, hanya lulusan salah satu SMA di Kab. Natuna. Menurutnya, minim sekali pelajaran SMA di sekolahnya dulu. Oleh karena itu, kalau masalah agama ia banyak belajar dan bertanya kepada Kang Noval, baik soal fiiqh, syari’ah, tasawuf dan lainnya. Biasanya sehabis sholat maktubah, ia selalu sorogan AL-Qur’an kepada Kang Noval guna memperlancar bacaannya. Dari sinilah, keakraban anatara mereka berdua terjalin erat. Bahkan, Kang Noval sendiri menganggap Kang Firli sebagai saudaranya sendiri, begitu juga sebaliknya.
6 bulan berlalu, perubahan sikap terjadi dalam diri Kang Firli. Ia sekarang menjadi aktifis salah satu organisasi kampus. Biasanya, ia dipanggil “Akhi Firli” oleh temen se-organisasinya. Kini ia aktif ikut halaqoh-halaqoh organisasi ini. Sehingga ia sekarang jarang bertanya atau berdiskusi seputar agama dengan Kang Noval. Karena ia merasa cukup tercerahkan oleh ustadz-ustadz yang mengisi dalam halaqoh itu.
Dalam persoalan penerapan syari’at agama, sekarang ia terkenal sangat keras dan tidak ada toleransi sedikitpun. Apalagi soal kemungkaran dan kemaksiatan, ia orang nomer satu yang akan membrantasnya. Seperti contohnya, ketika ia menjumpai temennya yang lagi asyik berpacaran, maka ia akan menegurnya secara terang-terangan. Bahkan kejadian seperti ini tidak hanya terjadi pada mahasiswa saja, tetapi juga pada dosen. Suatu saat Pak Naryo, seorang dosen UIN Malang sedang makan satu warung dengan Firli. Ketika makan, dengan santainya Pak Naryo mengangkat kakinya satu, dan sambil berbicara dengan temannya. Tiba-tiba Firli datang dan menegur Pak Naryo yang lagi menikmati sarapan pagi. “Bapak ini dosen UIN, Tapi kelakuannya kok seperti ini?, apa anda tidak malu bila dilihat mahasiswa lainnya bapak?. Islam itu mengatur segala aktivitas penganutnya, termasuk makan bukan?”, tandasnya dengan nada tegas pada Pak Naryo. Pak Naryo hanya diam sambil membalasnya dengan senyuman, tapi dalam hatinya berkata, “Memang mahasiswa sekarang itu pandai dalam masalah agama, tapi tidak tahu dengan siapa ia berbicara. Setidaknya, mbok agak sopan dikit kalau bicara sama gurunya, masya allah.., masya allah, anak zaman sekarang”.
Di samping keras dalam menegakkan syari’at islam di lingkungan kampus, dia juga sering mengkoordinir temen-temen seorganisasinya guna demonstrasi menegakkan khilafah islamiyah di negeri ini. Baginya, hanya satu solusinya jika Negara Indonesia ingin bangkit dari segala keterpurukan yang ada, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik, dan pendidikan, yaitu mengganti sistem kepemerintahan dari Demokrasi ke sistem Khilafah. Selain itu, ia juga mengharamkan segala ritual kaum muslim yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran rosulullah, seperti tahlilan, mauludan, sholawat al-Barjanji, burdahan, dan lain sebagainya. Baginya, hal itu merupakan bid’ah. Jika ia menemukan seseorang yang melakukan hal tersebut, pasti ia akan menegurnya, bahkan tidak sedikit yang diajak debat olehnya. Ia selalu melontarkan hadist andalannya yaitu “Waa kullu muhdatsatin bid’atun, waa kullu bid’atin dholalatun, waa kullu dhalalatin fin Naar (Dan setiap perkara yang baru diadakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka)”. Mungkin karena itulah, ia sama teman-temannya dijuluki sebagai “santri karbitan”. Iya santri karbitan. Seorang mahasiswa yang hanya mengikuti halaqoh keagaman selama 6 bulan di kampus, akan tetapi sikap dan prilakunya mengalahkan santri yang puluhan tahun belajar agama di pondok pesantren.
***
Suatu hari dalam perkuliahan Pendidikan Kwarganegaraan terjadi perdebatan yang sengit antara Drs. Hanafi, M.H dengan Firli. Pak Hanafi selaku dosen pengampu mata kuliah itu, membahas secara tuntas tentang pentingnya 4 pilar negera Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bheineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurutnya, 4 pilar bangsa inilah yang menjaga keutuhan bangsa Indonesia sampai sekarang. “Kita harus bertrimakasih pada pahlawan-pahlawan kita terdahulu atas rumusan 4 pilar bangsa Indonesia. Ini merupakan warisan yang sangat berharga yang harus kita jaga bersama. Jangan sampai bangsa lain menghancurkannya. Sekali 4 pilar ini dihancurkan, saya yakin bangsa ini akan porak-poranda layaknya negara-negara di Timur Tengah”, tandasnya dengan penuh semangat dihadapan mahasiswa tersebut.
Ketika selesai menjelaskan materi, Pak Hanafi melemparkan satu pertanyaan kepada mahasiswanya. “Adakah pertanyaan dari kalian?, tanyanya kepada mahasiswa saat itu. Dari 40 mahasiswa yang berada di kelas tersebut, semuanya hanya diam, sambil menggelengkan kepalanya bertanda tidak ada satupun yang bertanya. Tiba-tiba dari deretan barisan paling belakang Firli mengacungkan tangan, sambil berkata pak saya mau tanya. Serentak 39 pasang mata tertuju padanya. “Silahkan fir”, jawab Pak Hanafi padanya. Sambil berdiri, Firli mengajukan pertanyaannya. “Bagaimana pandangan islam tentang 4 pilar bangsa Indonesia bapak?, dan Sebagai ideologi negara, apakah ada dalil syar’i yang memperbolehkan suatu negara beridiologikan pancasila?”.
Ketika ditanya hal itu, sebenarnya Pak Hanafi juga bingung untuk menjawabnya, apalagi harus menyertakan dalil. Selain belum pernah mondok, beliau merupakan lulusan Universitas umum yang sangat minim sekali kajian-kajian agama. Akhirnya pak hanafi mencoba menjawab sebisanya. “Kalau tentang dalil saya belum tau mas Firli, akan tetapi pada hakikatnya tidak ada satupun butir pancasila yang menyeleweng dari agama islam”, jawaban singkat dari Pak Hanafi untuknya. Belum diperkenankan bicara, Firli langsung menimpal balik jawaban tersbut. “Bapak islamkan?, kalau ada sesuatu hal yang baru, dan itu tidak ada dalil syar’i yang menjelaskannya, bukankah itu termasuk bid’ah bapak?, Apakah bapak tidak tahu dengan janji Allah, bahwa bid’ah itu tempatnya ada di Neraka?”, jawabnya dengan nada tegas. Pak Hanafipun wajahnya mulai memerah merasa ditelanjangi oleh Firli dihadapan mahasiswa yang lain. Ketika Pak Hanafi hanya terdiam, dan tidak bisa menjawab lagi dari pertanyaannya, Firlipun malah menyampaikan gagasannya tentang sistem islam ala khilafah. “Ketika tidak ada dalil syar’i yang mewajibkan ideologi Pancasila, dan andapun juga tidak bisa menjelaskan secara jelas pandangan islam terhadap 4 pilar kebangsaan, lalu kenapa bapak masih berpegang teguh untuk mempertahankannya?, bukankah itu sesat?, kenapa bapak tidak beralih saja pada sistem khilafah yang mana telah jelas Allah menerangkan dalam firmannya yaitu; (QS. Al-Mai’dah; 48, 49, 50, QS. An-Nisa’: 59, QS. Al-Baqarah: 178, 179, An-Nisa’ 92, 93 serta QS. Al-Maidah 44-45). Masihkah anda tetap berpegang teguh terhadap 4 pilar bangsa yang sesat tersebut?”.
Ketegangan menyelimuti suasana kelas saat itu. Seakan-akan Firli menjadi raja, karena pertanyaannya tidak bisa dijawab oleh Pak Hanafi. Sedangkan Pak Hanafipun hanya terdiam seribu bahasa. Melihat fenomena tersebut, Kang Noval sebagai “santri tulen” yang lama belajar agama di pondok merasa terpanggil untuk menengahi dan menjawab secara tuntas pertanyaannya Firli. Dari sinilah terjadi perdebatan yang sangat sengit pula antara Kang Noval dan firli. Dengan santainya, Kang Noval mengangkat tangannya, dan meminta izin ke Pak Hanafi untuk menjawab pertanyaan dari Firli. “Iya, silahkan Val”, ungkap dosen itu dengan nada lirih kepada Kang Noval.
Kang Noval mulai mengkritisi satu persatu dalil yang diajukan oleh Firli. “Dalil yang digunakan oleh saudara Firli itu secara eksplisit tidak ada satupun yang menganjurkan untuk menegakkan sistem khilafah”, kata Kang Noval dengan nada pelan dan penuh kesopanan. “Coba kita cermati bersama, bukankah QS. Al-Mai’dah; 48, 49, 50 itu menjelaskan taat pada pemimpin, QS. An-nisa’: 59 merupakan ayat yang berbicara tentang harta ghanimah, QS. Al-Baqarah: 178, 179 tentang kewajiban menjalankan amanah dan keadilan, QS. An-nisa’ 92-93 membincang tentang menjalankan hukum qishas dan pembunuhan, serta yang terakhir QS. Al-Maidah 44-45 merupakan ayat tentang vonis kafir, dhalim, dan fasiq bagi yang tidak menjalankan hukum Allah. Intinya, dari sekian dalil yang disebutkn oleh saudara Firli itu menjelaskan tentang anjuran untuk menjalankan hukum Allah bukan menegakkan sistem pemerintahan khilafah. Bahkan, dalam Al-qur’an maupun Hadist tidak ada satupun ayat yang menentukan jenis sitem politik tertentu. Jadi, menjadikan Ayat al-Qur’an maupun Hadist sebagai dalil mendirikan Negara Khilafah itu terkesan memaksakan”, tambahnya. Mendengarkan penjelasan Kang Noval tersebut, Firli tetap kokoh dengan keyakinannya, dan ia balik membalasnya. “Iya, betul yang anda sampaikan saudara Noval. Dan hanya sistem khilafah yang bisa menjalankan semua syari’at Allah bukan?”, tandasnya dengan nada mencibir dan coba menjatuhkan argumen lawan.
Karena diawal Firli menggunakan dalil -walaupun dalilnya kurang tepat-, Kang Noval mencoba membalasnya dengan dalil juga, sehingga membuat suasana kelas jadi memanas saat itu. “Ingat saudara, negara kita ini terdiri dari beberapa agama, bukan islam saja. Kalau kita terapkan syari’ah islam, Apakah mungkin saudara kita yang mayoritas beragama hindu di Bali bisa menerimanya?, begitu juga dengan masyarakat Papua yang mayoritas agama kristen. Malah memungkin mereka keluar dari Indonesia, dan mendirikan negara sendiri sesuai dengan agamanya masing-masing. Sehingga bisa menimbulkan perpecahan sesama bangsa Indonesia. Selain itu, menurut Ibnu Khaldun, Allah membolehkan kita mempunyai negara berdasarkan nalar (siyasah aqliyah), bukan berdasarkan agama (siyasah diniyah), karena syari’at membolehkannya dilihat dari sudut tujuan untuk kesejahteraan umum. Dalam buku al-ahkam al-Sulthaniyah, Imam Al-Mawardi mengatakan siyasatul ummah mabniyahtun ‘ala ‘aqidatiha, bahwa politik kebangsaan haruslah dibangun di atas sendi atau nilai-nilai dasar bangsa sendiri. Jadi atas dasar inilah, wajib hukumnya kita menjaga Pancasila, UUD 1945, Bhineka tunggal ika, dan NKRI”, ungkap Kang Noval dengan nada tegas dan lugas juga, layaknya Firli. Setelah mendengarkan penjelasan itu, Firli terus menyangkalnya akan tetapi argumennya tetap kalah dengan dalil dan logika Kang Noval. Sehingga membuat iya terdiam, dan agak sedikit memerah wajahnya. Ia terlihat malu, apalagi ditambah sorak dan tepuk tangan dari temen sekelas yang semuannya mendukung Kang Noval. Melihat suasana gaduh, dan tidak kondusif Pak Hanafipun mengakhiri perkulihan tersebut. Sejak saat itu, hubungan pertemenan antara Kang Noval dan Firli kurang harmonis, walaupun Kang Noval tidak henti-hentinya mencoba minta maaf setelah kejadian tersebut.
***
Sudah lama Kang Noval tidak mendengar kabar Hasbi. Semenjak keluar dari ma’had jami’ah UIN Maliki sampai ia lulus kuliah. Setiap kali nomernya dihubungi selalu tidak aktif. Selain itu, Kang Noval juga mencarinya ke bescam organisasi yang dulu ia pimpin, tapi juga tidak menemukannya. Oleh sebab itulah, ketika Firli menelponnya, ia senang bukan main. Tanpa berfikir panjang, ia langsung angkat telpon tersebut dan minta maaf atas apa yang terjadi kala itu. Mereka berdua berbincang-bincang cukup lama dalam telpon tersebut. Setelah saling tanya kabar, dan saling memaafkan atas kejadian ketika waktu mahasiswa dulu, tiba-tiba Firli cerita panjang lebar kepada Kang Noval.
“Aku sudah bertaubat kang, Aku sudah bertaubat kang”, ungkapnya sambil dengan nada penuh penyesalan kepada Kang Noval.
“Bertaubat…?, bertaubat kenapa Fir?, tanya Kang Noval.
“Aku sekarang sudah bertaubat kang, bertaubat dari pengaruh organisasiku dulu. Sampean tau nggak, bagaimana keburukan mereka kang?”
“Nggak tau aku, memang gimana fir”, tanya kang Noval benar-benar pingin tahu.
“Ustadzku dulu itu kang, setiap kali ceramah isinya selalu menjelek-jelekkan negeri ini, bahkan mengeklaim “thoghut”, dan sering juga ia mengkafir-kafirkan umat muslim yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Akan tetapi, dibalik semua itu, ia mau gaji PNS dari jabatannya menjadi dosen UIN Malang. Bukankah uang itu dari negara yang ia klaim thoghut tersebut kan?, Bahkan info yang terakhir sebelum aku wisuda, ia kena kasus korupsi dana pembangunan kampus pasca itu lho kang. Sungguh perkataannya tidak sesuai dengan kelakuannya. Dari kejadian ini, aku sekarang bertaubat dari faham seperti itu kang. Dan sekarang aku mondok di Gasek kang. Memang benar kata jenengan dulu, belajar agama itu tidak bisa instan”, ceritanya panjang lebar ke kang Noval.
Sebelum kang Noval menjawabnya, tiba-tiba terdengar suara Tutt..,tutt.,tutt, bertanda telepon mati. Kang Noval pun tidak tau apa sinyalnya yang buruk, atau pulsanya habis. Dan ketika Kang Noval mencoba menghubungi lagi, ternyata nomernya sudah tidak aktif. Walaupun belum bisa menjawabnya, Kang Noval sangat bersyukur. Karena sahabatnya telah mendapatkan hidayah dari Allah swt. Hanya kata Alhamdulillah yang terucap dari mulut kang Noval, ketika mendengar berita tersebut.
Waa Allahu a’lam bisshowab
Penulis : Ach. Sirojul Munir
Editor : Zakariya
Untuk pengiriman karya tulis maupun informasi lebih lanjut silakan hubungi admin
0851-83019262 (WA)