Website Resmi Ponpes Sabilurrosyad Gasek Malang

Khidmah Konten dari Pesantren

Mata-Mata Pesantren

Foto. Dokumen Gasek Multimedia

Mahasiswa baru, almamater baru, harapan baru, dan tentu saja semangat masih menggebu. Rangkaian kegiatan ospek yang melelahkan telah usai. Setiap mahasiswa baru mendapatkan kesempatan magang di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang tersedia. Salah satu mahasiswa bernama Hasan tertarik dengan UKM Jurnalistik. Dia ingin mengasah kemampuan sekaligus meneruskan karier jurnalistiknya sewaktu SMA.

Hari berikutnya, Hasan mengikuti pembukaan magang UKM Jurnalistik yang berlangsung di SC (Student Centre). Ada empat belas mahasiswa baru lainnya yang mengikuti acara itu. Hasan berkenalan dengan Fadhil, seseorang yang duduk di sampingnya, dan mereka kaget kalau ternyata satu fakultas di Fakultas Hukum. Mereka cepat akrab dengan memperbincangkan tentang novel-novel sastra.

Pembukaan magang UKM Jurnalistik diisi dengan dua materi. Materi pertama oleh Kak Hafidz selaku Ketua UKM Jurnalistik yang menjelaskan sejarah berdirinya UKM Jurnalistik. Istirahat setengah jam digunakan Hasan untuk berkenalan dengan teman-teman yang lain. Mereka mengenalkan nama, jurusan, dan kota asal. Beberapa kakak tingkat turut bergabung mengenalkan diri mereka. Acara perkenalan dadakan itu bubar ketika pemateri kedua sudah memasuki ruangan. Kak Lala, senior dari UKM Jurnalistik yang sekarang bekerja di salah satu koran ternama, memberikan pembekalan dasar-dasar komunikasi dan jurnalistik.

Tugas akhir magang UKM Jurnalistik adalah membuat tulisan dengan tema yang belum pernah terpublikasikan di kampus. Tugas dapat dikerjakan secara individu maupun berkelompok. Hasan berinisiatif mengajak Fadhil mengerjakan tugas akhir bersama-sama. Mereka melakukan riset hal apa saja yang sering ditulis di lingkungan kampus. Setelah berkeliling kampus mencari mading, mereka menyimpulkan pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial budaya adalah tema yang sering dibahas. Fadhil yang pernah mengenyam pendidikan pesantren mengusulkan mengangkat topik agama dengan narasumber kiai atau para santri. Hasan menyetujui usulan Fadhil. Mereka kemudian menyusun rencana dan konsep wawancara yang akan dilakukan.

Jumat malam, Hasan dan Fadhil berangkat menuju pondok pesantren yang berada di Mojokerto. Anak pengasuhnya merupakan teman Fadhil semasa mondok dulu. Mereka naik bus selama empat jam hingga sampai di Terminal Mojokerto. Mereka masih harus menumpang mikrolet agar sampai di pondok dengan waktu perjalanan sekitar dua puluh menit. Sesampainya di pondok, mereka disambut Ain yang merupakan teman Fadhil. Ain mengusulkan agar mereka menginap di rumah Ustaz Saiful saja karena lebih bebas dibandingkan di dalam pondok. Hasan dan Fadhil menyetujuinya dan langsung diantar Ain menuju rumah itu.

Wawancara dilakukan pada Sabtu pagi. Hasan dan Fadhil berbagi tugas. Fadhil yang pernah mondok bertugas mewawancarai kiai sedangkan Hasan mewawancarai para santri. Fadhil ditemani Ain berjalan menuju ndalem sementara Hasan masuk ke dalam asrama. Mereka mencari informasi tentang sistem pendidikan agama hingga keseharian para santri selama di pondok. Hasan yang belum pernah merasakan dunia pondok takjub dengan para santri. Keseharian yang padat dengan istirahat yang minim tidak membuat mereka mengeluh. Mereka tetap menikmati sambil mengharapkan keberkahan menyelimuti diri mereka.

Informasi sudah terkumpul. Hasan mulai menulis esai dibantu Fadhil yang memberikan masukan-masukan. Esai yang mereka tulis cukup panjang karena mencantumkan perkataan dari kiai maupun para santri. Ketika akan mengirimkan tulisan, mereka mendapatkan masalah baru. Sinyal di sekitar pondok jelek karena berada di daerah pegunungan. Hasan mengajak Fadhil berkeliling di sekitar pondok yang mungkin saja terdapat warnet. Ketika Hasan akan keluar menggunakan celana, Fadhil mencegah dan menyuruhnya mengganti sarung sebagai penghormatan berada di lingkungan pondok. Tak lupa mereka memakai peci sehingga sudah tampak seperti santri.

Hasil tidak mengkhianati usaha. Hasan dan Fadhil menemukan warnet tak jauh dari pondok. Suasana di dalam warnet sangat sepi, hanya ada Hasan, Fadhil, dan penjaga warnet. Mereka tidak peduli warnet itu horor atau mistis, asalkan tulisan dapat terkirim. Mereka menyewa salah satu komputer selama satu jam. Tidak butuh waktu lama tulisan beres terkirim. Mereka langsung mendapatkan email balasan berisi terima kasih karena telah menyelesaikan tugas akhir tepat waktu. Hasan dan Fadhil bernapas lega.

Ketika akan pulang, mereka didatangi dua orang yang berpenampilan seperti perampok. “Kalian santri pondok, ya?” Tanya salah satu orang itu dengan nada membentak.

“Bukan, Pak.” Fadhil mengelak.

“Halah, bohong!” Orang yang lain berkata tak kalah keras.

“Benar, bukan Pak! Bapak salah sangka mungkin?” Hasan turut bersuara. Raut mukanya sudah memerah.

“Tidak percaya. Pokoknya kalian harus ikut kami!”

Fadhil menenangkan Hasan dan menyuruhnya menuruti kemauan dua orang itu. Mereka berjalan menuju rumah kosong di sebelah pondok. Di dalamnya, terdapat banyak orang yang sudah siap mengadili. Hasan dan Fadhil pasrah. Hasan yang polos mengira mungkin memang tidak baik keluar malam di sekitar pondok.

Ain yang kebetulan lewat di sana tertawa. “Pak, itu teman saya. Kenapa bapak bawa kesini?”

“Oh, jadi benaran mereka bukan santri sini?” Orang itu heran dan malu. Ekspresi perampoknya yang garang tidak tampak lagi.

“Iya, Pak. Kami sudah bilang bukan santri sini!” Hasan menjelaskan kembali dengan amarah.

“Maaf, San. Mereka ini keamanan pondok yang menjadi mata-mata biar ada yang memantau santri yang barangkali kabur atau berkeliaran di sekitar pondok. Penjaga warnet itu juga orang kampung yang bertugas untuk melaporkan kalau ada santri di warnet itu. Mungkin dia tidak tahu kalau kamu bukan santri di sini. Habisnya, kamu terlihat seperti santri benaran. Wkwkwk.” Ain mencoba menenangkan Hasan yang terlihat marah.

Hasan dan Fadhil kembali ke rumah Ustaz Saiful bersama Ain yang katanya akan menginap di sana. Mereka asyik membicarakan mata-mata pondok. Fadhil tertawa lepas dengan pengalaman pertamanya tertangkap keamanan pondok. Sementara, Hasan yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pondok menyimak dan sesekali ikut tertawa.

Penulis : Naufal Hatta
Editor   : Cheppy Eka Juniar