Website Resmi Ponpes Sabilurrosyad Gasek Malang

Khidmah Konten dari Pesantren

Barokah

Foto. Dokumen Gasek Multimedia

Ponpesgasek.id — Seusai boyong dari pesantren, entahlah aku merasa jalan hidupku tertutup. Mau jadi apa dan mau kemana rasanya tak ada jalan. Ibuku yang setiap hari melihat anaknya kebingungan pun gemas juga. “Nak, minggu depan ikut pamanmu ya, ikut tes seleksi kuliah di Al-Azhar.”

“Ta-ta,-ta, tapi buk, aku belum menguasai gramatika Bahasa Arab, sewaktu di pesantren aku hanya fokus mengabdi di ndalem Kiai, membersihkan griya Kiai, menyapu, mengurusi kucing, dan membantu di sawah, setiap pagi aku berangkat ke sawah Kiai dan pulang sore, aku tak pernah mengaji dan tidak pernah berangkat sekolah.” jawabku seolah menghindar dari arahan Ibu.

Aku menjawabnya dengan terbata-bata, tentu saja aku kaget bukan main.

“Tak apa nak, dicoba dulu, lagi pula ini  hanya sekedar tes saja, Ibu selalu mendoakan yang terbaik, masih ada waktu satu minggu, tinggal mengulas kembali pelajaran pesantren”, Ibu mengelus kepalaku dan pergi melangkah ke arah dapur.

‘Ah, bagaimana bisa. Sejak masuk kelas 9 sampai lulus Madrasah Aliyah aku benar-benar jarang mengaji, aku hanya fokus pada urusan sawah. Hmm, bagaimanapun juga ibu telah mempercayaiku bisa melakukan tes itu, dan paman sudah berusaha mencarikan, mengurus beasiswa bahkan namaku sudah terdaftar di kemenag sebagai peserta calon beasiswa universitas Al-Azhar, bukankah kurang ajar sekali jika aku tidak mengikuti tes itu?’ aku merenungi dalam-dalam.

‘Bukankah ini juga mimpimu sebelum mengabdi di pondok’ sisi hatiku yang lain pun bersuara. Benar, ini mimpiku sebelum aku memutuskan ingin mengabdi di ndalem kiai Mansur. Aku menuliskan mimpiku di nadzom had Jurmiyahku kala itu. Ku tulis ‘Ulumuddin berkuliah di Al-Azhar, Mesir.”

Aku ingat sekali, aku menulis itu saat pertama membeli nadzom. Dengan PD-nya aku menamai  kitabku seperti itu padahal kala itu aku tidak tahu apa itu universitas dengan laqob (julukan) bagi pelajarnya (Disebut Mahasiswa). aku hanya membayangkan Mahasiswa. ‘Aneh sekali seseorang yang masih belajar dan belum menemukan jati dirinya disebut maha. Bukankah maha itu sesuatu yang besar juga tinggi sekali maknanya’ batinku saat menulis kata Al-Azhar.

“Ulum, ulum, cepat makan”, suara ibu membuyarkan lamunan dan cepat-cepat aku menuju ruang makan. “Dari pagi ibu perhatikan diam terus tak bersuara. Ada apa, Nak?” tanyanya. “Baik-baik saja, Buk. Diam itu tandanya aku sedang berpkir, hehe” jawabku. “Ah bisa saja kau ini, ya sudah makan terus jangan lupa belajar untuk persiapan tes” balas ibu sambil memulai makan malam dengan melahap nasinya. Aku mengangguk.

Sebaiknya aku mewujudkan mimpiku dan mulai malam ini aku akan mempelajari segala kebutuhan tes untuk masuk ke universitas itu tidak peduli walaupun dulu semasa di pondok aku sangat jarang mengaji. Langkah pertama aku akan membuat esai dan berlatih berbicara bahasa arab sesuai susunan nahwu shorofnya.

Alhamdulillah, esai sudah jadi dan kenapa saat aku belajar semua lancar dan aku langsung paham. Padahal kitab-kitab ku kosong hanya ada sedikit yang ku maknai, itupun ada karena aku ikut musyawaroh (rois kelas seseorang yang paham menjelaskan dan membacakan kitab yang dikaji oleh ustadz atau kyai) tidak ada tugas berjaga malam di sabin.

Mustahil tapi ini nyata. “Uluuum, bangun, Nak. Sudah masuk waktu shubuh, mandi, ibu tunggu di depan kita sholat ke masjid.”

Aku mengerjap, mataku memandangi jam di dinding kamar. Tak terasa sudah pukul 4 pagi, mungkin aku terlalu bersemangat untuk belajar.

“Nak, tadi pagi paman datang ke rumah. Malam ini jam 8 kau berangkat bersama paman ke Jakarta. Tes di laksanakan pukul 9 Pagi” tuturnya.

“Siap buk” jawabku dengan penuh semangat.

“Semangat, Nak. Ibu berangkat kerja dulu” Ibu pamit, sembari tersenyum dan aku menyalami punggng tangannya.

***

Ku intip dari balik jendela, paman ke rumah dengan membawa selembar kertas. Ia terlihat memberi selembar kertas pada ibu. Entah kertas berisi apa, ibu menangis setelah menerima dan membacanya.

Sejurus kemudian, aku di panggil paman. “Selamat ya, Nak, kau di terima di Universitas Al-Azhar. Mataku berkaca-kaca, hatiku senang bukan kepalang membayangkan aku akan belajar di Negeri Piramida. Begitu juga dengan ibu, sorot mata bahagia turut kurasakan darinya. Dari belakang, ibu memelukku sambil menangis.

Aku tersenyum bahagia memandang ibuku. Meski jujur, dalam hati kecilku pun sedih harus meninggalkannya sendiri di rumah. Iya, ibu mengurus sendiri pabrik sawit tinggalan bapak, dan saudara bungsuku sekarang masih berada di pondok pesantren kelas 9.

“Selamat ya, Nak. Kau ketrima di Universitas Al-Alzhar, Ibu sangat bangga, tunjukkan pada dunia bahwa kamu itu  hebat. Diterimanya kamu di Al-Azhar mungkin saja ‘barokah’ atas pengabdianmu selama di pondok. Kau sangat manut dan mengabdi penuh pada Kiai” katanya.

“Besok kita ke pondok sowan ke Pak Kiai dan menyambang adikmu” tambahnya, ibu memelukku sangat erat. “Iya buk, ini juga berkat doa ibu. Ibu selalu mengirimkan al-fatihah setiap kali setelah selesai sholat, terimakasih banyak, Buk. Ulum selalu ingat pesan ibu”.

Tamat.

Penulis : Khusniyah

Editor  : Dina Surya Mega