Website Resmi Ponpes Sabilurrosyad Gasek Malang

Khidmah Konten dari Pesantren

Kyai Mashudi, Pejuang Pertempuran 10 November dari Malang

Penulis saat sowan di kediaman ndalemnya | Foto. Dokumen Pribadi

Ponpesgasek.id — KH Mashudi Hasan adalah seorang ulama sekaligus pejuang, prasasti hidup dan saksi perjuangan bangsa Indonesia malawan penjajah. Bersama sahabatnya, Hamid Rusdi dan laskar santri lainnya dari Malang bersama-sama berjuang dalam  gerakan 10 November di Surabaya yang merupakan tindak lanjut dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari. Semasa muda, KH Mashudi sendiri pernah nyantri dan menimba ilmu agama kepada Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari, sedangkan sahabatnya, Hamid Rusdi nyantri kepada Syaikhona Kholil Bangkalan.

Beliau adalah bagian dari laskar Hizbullah juga termasuk anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi Kujang kala itu. Beliau menuturkan kisah yang barangkali belum pernah tercatat di buku-buku sejarah. Betapa dahsyatnya perjuangan para Kyai NU dalam memerdekakan Indonesia.

Bahkan menurut beliau, Hadratus Syeikh selaku seorang Kyai tidak hanya duduk mengaji di Pondok saja tapi turut serta berjuang ke Surabaya bersama para Kyai lainnya. Beliau romo KH Mashudi turut bersama Mbah Hasyim dan para kyai memerangi Belanda. Pada suatu kesempatan, beliau Hadratus Syeikh bertanya, “iki opo o le sikilku kok gatel (kenapa kakiku kok gatal), ternyata mortir baru saja meledak di kaki mbah Hasyim. Seandainya kejadian itu mengenai orang zaman sekarang pasti hancur lebur.

“Lek awan kulo ten Suroboyo nyamar dadi tukang motong rambute tiyang ,  engken lek dalu tukang motong gulune tiyang,” (kalau siang, saya di Surabaya nyamar jadi tukang potong rambutnya orang, nanti kalau malam jadi tukang potong lehernya orang) kata beliau menceritakan bagaimana salah satu tugasnya selama menjadi pejuang di Surabaya.

Beliau pernah mendampingi  Mbah Hasyim sewaktu jihad ke Surabaya, dimana Mbah Hasyim dan para kyai lainnya memakai baju putih bersih sementara para tentara dan para pejuang  untuk keamanan semua tiarap dan tentu saja bajunya lusuh dan kotor. Kyai Hasyim berkata pada para kyai yang hadir pada peperangan tersebut , “kita tidak usah tiarap karena baju kita putih nanti bisa kotor”.

Dan ternyata betul, para musuh dengan mudahnya menembak bahkan mengebom ke arah Mbah Hasyim, tapi begitu bom akan mengenai beliau, kira-kira jarak satu jari, beliau berkata ” Tabbat ” dengan ajaibnya, bom dan bedil runtuh semua.

Itulah salah satu karamah Kyai NU. Dan yang lebih ajaibnya lagi, Hadratus Syeikh punya senjata ajaib yang barangkali bisa masuk 8 dari keajaiban dunia.  Di mana  beliau menghancurkan kapal tentara sekutu dengan hanya memakai ketapel, kapal itu diketapel oleh beliau, jatuh hancur lebur semua. Seakan ketapel tersebut berubah jadi bom yang sangat dahsyat. Itulah kejadian sejarah yang pernah disaksikan oleh beliau di samping masih banyak lagi yang tidak sempat beliau ceritakan.

Beliau Mbah Kyai Mashudi di samping santri Hadratus Syeikh yang kinasih karena bertugas memotong kuku beliau dan ikut kemana pun Mbah Hasyim pergi. Beliau juga senantiasa diajak tiap kali Hadratus Syeikh melakukan Bahtsul Masa’il sampai keluar  negeri. Mbah Yai Mashudi  juga termasuk santri dari Mbah Dimyati Termas juga santri Pahlawan Asli Malang yakni Kyai Tamin, yang sekarang jadi nama jalan di Kota Malang.

Banyak sejarah yang beliau simpan dalam hati dan pikirannya, bagaimana perjuangan Kyai Tamin yang juga salah satu guru beliau ngaji di Malang. Kata beliau, cuma Kyai Tamin yang menolak dhohir dan batin ketetapan Jepang untuk menundukkan kepala menghadap ke arah Kota Tokyo Jepang di saat matahari terbit, karena bagi Kyai Tamin itu sirik wal murtad.

Karena mempertahankan aqidah, Kyai Tamin harus disiksa dan terakhir ditembak sampai gugur. Dan pada waktu Kyai Tamin dimakamkan, awan selalu menaungi jenazahnya.

Beliau juga cerita bagaimana gigihnya sahabat beliau, Mayor Hamid Rusdi, dalam merebut wilayah Malang sampai harus gugur dengan sembilan tembakan di dadanya. Karena saat tertangkap, Mayor Hamid Rusdi tetap bungkam saat ditanya Belanda di mana saja tempat persembunyian anggotanya.

Yang menarik, menurut beliau, Mayor Hamid Rusdi adalah asli Bantur, salah satu desa di wilayah Malang selatan. Beliau pun berkata,”Nggih sampek koyok ngoten pejuang riyen, mboten korban dunyo kale tenogo mawon, tapi nyowo nggih diparingaken (Ya sampai seperti itu pejuang dulu, tidak korban harta dan tenaga saja, tapi nyawa ya diberikan)”.

Masih banyak cerita perjuangan lain yang masih beliau rekam dengan baik di dalam ingatannya sampai sekarang. Inilah pahlawan yang harus selalu kita doakan dan kita hormati.

Salah satunya adalah saat Bululawang, daerah padat penduduk di Kabupaten Malang, pada sekitar tahun 1946 Belanda pernah memborbardir wilayah ini.
“Biyen jaman sekitar 1946, Londo nate ngebom Bululawang. Katah jeroan-jeroan menungso podo ceceran, sirah-sirah e menungso podo nyantol nang wit,” (Jaman dulu pada tahun 1946, Belanda pernah membom Bululawang. Banyak organ dalam manusia tercecer kemana-mana, kepala-kepala dari mereka juga banyak terlihat nyangkut di pohon-pohon) kata beliau menceritakan kondisi tragis pada masa itu.

Saat diminta untuk hadir dalam berbagai kesempatan, misalnya pengajian, beliau sering berpesan kepada para jamaah,
Ulama biyen melu perang duduk krono kepingin ndang turu enak karo mangan enak. Tapi seng utomo supoyo anak putu turune kabeh iso ibadah nyembah gusti Allah kanti tenang (Ulama dulu perang bukan karena ingin segera tidur nyenyak dan makan enak, tapi yang utama adalah supaya anak cucu semua bisa ibadah menyembah Allah dengan tenang)”.

Dan sekarang di usianya sudah menginjak 120 tahun, beliau masih tetap aktif berjuang dengan ikhlas dan tulus tetap melaksanakan dakwah Islam ke mana-mana. Dan yang salut lagi dari keikhlasan beliau, uang pensiun dan perumahan dinas yang seharusnya jadi hak beliau dengan pangkat Mayor TNI AD tidak pernah beliau ambil. Inilah bentuk ketulusan dan keikhlasannya kepada bangsa dan negara ini. 

Penulis bertanya kepada beliau,”Wonten nopo kok mboten dipendet yotro pensiunane kyai ? (Kenapa kok tidak diambil uang pensiunannya kyai ?)” Beliau menjawab,”Biyen jaman kulo tasih dines, kulo nate sowan ten Kyai Hamid Pasuruan. Beliau dawuh ten kulo, Kyai Mashudi benjeng lek pun pensiun nyotrone negoro pun dipendet nggih, niku duwek negoro. Ndugi mriku kulo wedi kuwalat lek mendet pensiunan (Dulu zaman saya masih dinas, saya pernah datang ke Kyai Hamid Pasuruan. Beliau bilang ke saya, Kyai Mashudi besok kalau sudah pensiun uang negara jangan diambil ya, itu uang negara. Dari situ saya takut kuwalat kalau ambil uang pensiunan)”.

Penghargaan kepada Mayor Inf (Purn) KH Mashudi Hasan atas dedikasi, pengabdian dan jasa-jasanya dalam perjuangan Gerakan 10 Nopember 1945 di Surabaya untuk mempertahankan NKRI Bersama KH Hasyim Ashari dan Mayor Inf (Purn) Hamid Rusdi melawan penjajah Jepang di wilayah Jawa Timur dan s.d sekarang masih tetap berjuang aktif dan berdakwah menyiarkan Agama Islam di wilayah Malang Raya.

Foto. Dokumen Pribadi

Saat ini beliau hidup sederhana (zuhud) di daerah pelosok desa, tepatnya di Dusun Poh Kecik, Desa Sukolilo, Kec.Wajak, Kabupaten Malang. Provinsi Jawa Timur. Semoga Allah SWT memberi kesehatan dan umur yang barokah pada beliau. Karena pada orang-orang seperti beliaulah kita bisa dapat petuah tentang agama dan sejarah bangsa. Dan saat ini sepertinya sudah langka ulama alim sekelas beliau di dunia ini. Mugi tetep pinaringan (Semoga tetap diberi) sehat panjang umur kyai. Amin yaa robbal alamin