Foto. Gasek Multimedia
“Door… Door… Door…”
Suara tembakan terdengar menggelegar.
“Ayo cepat, Yu! Nanti lo kena tangkep.”
“Siap, Niko. Ayo!” jawab Wahyu seraya berlari. Hanya melarikan diri dan bergegas secepatnya yang lagi ada dalam pikiranmu untuk segera melepaskan diri dari kejaran polisi. Tak sadar, aku terjatuh di perempatan Jl. Sidosermo 4, dan secepatnya Wahyu membantuku bangun.Kami lalu kembali bergegas. Menghindari polisi yang mengejar kami.
“Sampai kapan kita harus berlari terus, Ko?”
“Diamlah. Ayo segera cari tempat aman, nanti kita bicarakan.”
Tak terasa, kami berdua sampai di daerah Surabaya yaitu Joyoboyo, yang lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Setelah pelarian, kami berdua mencari tempat aman untuk beristirahat sekaligus bersembunyi dari kejaran polisi. Tak lama kemudian, kami menemukan sebuah gudang kosong, di tempat itulah kami bersembunyi. Kami bersyukur karena selamat dari kejaran polisi dan para warga.
“Ko, setelah ini apa yang harus kita lakukan? Kita udah pasti jadi buronan polisi di mana-mana.”
“Udah, tenang aja Yu, aku juga lagi mikirin jalan keluar buat masalah ini,” kataku. Tentu saja, polisi tidak akan menyerah mencari kami. Apalagi jika kami tetap memilih tinggal di sini, riskan sekali ditangkap polisi.
“Gimana kalau kita kabur ke Madura?” kata Wahyu memberi saran.
“Emang mau tinggal dimana?” tanyaku.
“Di Madura kan ada pamanmu, kita tinggal di sana aja, sampai keadaan di sini membaik. Kita tidak bisa terus menerus bersembunyi di sini bukan?” jelas Wahyu. memperkuat alasannya.
Aku terdiam, berusaha memutuskan pilihan.
“Hemm.. Iya juga. Oke, sip lah. Besok pagi kita berangkat,” pungkasku.
Keesokan harinya kami berangkat ke Madura dengan naik kendaraan dari mobil ke mobil yang kami tumpangi. Hingga tak terasa kami sampai ke tempat tujuan. Dari kejauhan kami mendapatkan sapaan seseorang dari sebuah rumah yang terletak di sudut jalan. Aku dan Wahyu menghampiri rumah itu, kudapati Paman Ali dan Bibi Uswatum sedang duduk bersanding, kami berdua bersalaman. Mereka hanya hidup berdua, sedangkan kedua anaknya sudah beristri lalu merantau ke luar kota.
Aku dan Wahyu berbincang-bincang tentang maksud kedatanganku ke Madura ke Paman Ali serta Bibi Uus dan kami diterima dengan baik untuk berdiam di rumahnya. Sesudah membicarakan maksud dan tujuan kami, Aku dan Wahyu dipersilakan untuk makan dan beristirahat, karena perjalanan kami dari Surabaya ke Madura lumayan menguras banyak tenaga.
Tak terasa sudah berhari-hari aku hidup di rumah paman, rasanya aku malu karena menumpang terus di rumah Paman Ali. Aku mencari pekerjaan untuk membantu ekonomi pamanku, sekalian untuk biaya hidup. Hari itu aku berkeliling Kota Sampang., namun tak kunjung kutemukan pekerjaan. Saat aku bergegas pulang untuk istirahat, aku menemukan seorang kakek-kakek yang tengah kebingungan. Sepertinya ia hendak menyebrang. Tak tega aku melihatnya, aku bergegas menghampiri untuk membantu kakek tersebut.
“Ayo, saya bantu, Kek,” kataku seraya menuntun kakek sampai ke sebrang jalan,”
“Makasih ya, Nak,”
“Iya Kek, sama-sama. Emang Kakek mau kemana?” tanyaku.
“Mau pulang ke rumah, Nak,”
“Kalau gitu, mari saya anterin, kek,” kataku menawarkan bantuan. Bukan apa-apa, tapi aku kasihan kepadanya, hingga diriku tergerak untuk menolongnya.
“Gak usah, Nak, takut ngerepotin,”
“Udah gak apa-apa Kek, saya gak kerepotan kok,” kataku seraya memberhentikan angkutan umum dan memasukinya.
“Kamu juga sebenarnya mau kemana, Nak?”
“Ini Kek, saya lagi nyari kerjaan,”
“Gimana kalau kamu kerja ke tempat Kakek aja, Kakek punya toko, tapi gak ada yang jaga,” kata kakek itu menawarkan, aku yang mendengarnya langsung berbinar.
“Beneran Kek? Tapi saya gak punya jaminan tinggi, status saya hanya lulusan SMP,”
“Iya bener, Nak, gak jadi masalah kalau itu. Gimana, mau apa enggak?”
“Oke, saya mau Kek, kapan saya bisa langsung kerja?” kataku bersemangat.
“Besok,”
*****
Tak terasa aku sudah sampai ke rumah kakek lalu kuantar sampai depan rumahnya, tanpa basa-basi aku langsung pamit pulang. Dalam perjalanan pulang, aku membawa kabar gembira karena aku dapat pekerjaan. Setiba di dalam kamar tidur, tiba-tiba suara paman terdengar di gendang telingaku.
“Ini, Ko, ada titipan dari Wahyu,” Dengan diselimuti rasa penasaran, segera kubaca surat itu, setelah membaca surat dari Wahyu, hatiku terbelenggu oleh rasa bersalah. Dalam surat itu, Wahyu berpamitan kepadaku karena ia akan pergi ke tempat yang dirahasiakannya agar aku tidak mencarinya.
Selang sebulan dari Wahyu menitipkan surat ke paman untukku. Kujalani hidupku sendirian, sembari bekerja menjaga toko seorang kakek yang pernah kutolong tempo hari. Hari ini panas, setelah pulang bekerja, kurebahkan tubuhku di atas kasur yang terasa begitu keras rasanya di punggung.
Ketika aku terjaga, aku kaget karena mendapati Paman Ali dan Bibi Uus telah berada di sampingku, sepertinya keduanya tengah menungguku bangun. Secepatnya aku bangun, menegakkan badan dan duduk di hadapan paman dan bibi yang sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Paman lalu membuka pembicaraan.
“Ko, Paman ingin bicara sesuatu denganmu,”
“Iya Paman, ada apa?”
“Gini, Ko, paman dan bibimu ini kan sudah tua, kedua anak paman udah berkeluarga semua, mereka juga tinggal di luar kota dan kamu udah kami anggap seperti anak sendiri, jadi kami ingin memondokkan kamu sebagai harapan kami berdua. Jika kelak kami tiada, masih ada yang mendoakan kami. Melihat kehidupanmu yang ditinggal kedua orang tuamu dan tak ada yang tahu di mana mereka sekarang. Gimana menurut kamu, mau gak kamu mondok? Harapan paman dan bibimu hanya ada padamu, Nak, semuanya tergantung kamu,” kata paman dengan nada penuh harap.
Mendengar penuturan dan permintaan dari paman dan bibiku, aku yang merasa banyak berhutang budi kepada mereka, tanpa pikir panjang aku iyakan keinginan pamanku untuk memondokanku.
*****
Searus dengan berjalannya waktu, tepat hari Senin 17 Agustus 2013, aku berangkat ke salah satu pesantren di Kota Sampang bernama Al-Washilah yang diasuh oleh K.H. Muhammad Ali. Sesampainya di pesantren, paman membawaku ke sebuah tempat yang di sekelilingnya banyak santri yang sedang mengaji kitab. Aku dan paman duduk di teras rumah itu, menunggu pengajian selesai.
Setelah pengajian, paman mengucapkan salam kepada kiai dan aku hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh paman. Kemudian terjadi perbincangan antara pamanku dan Kiai Muhammad Ali yang entah aku tak tahu mereka sedang membicarakan apa, karena aku sendiri tak sebegitu paham bahasa Madura. Selesai dari dhalem kiai, aku dibawa oleh seorang pengurus yang kemudian mengantarkanku ke sebuah kamar, yang mungkin itu adalah tempat tinggalku selama di Pondok Al-Washilah.
Sehari sudah aku hidup di kawasan pesantren, hari-hariku terasa membosankan mulai dari peraturan dan para pengurus yang menurutku selalu menindas santri baru. Pernah aku berniat untuk kabur dari pesantren, tapi ku urungkan niatku itu karena aku ingat perjuangan dan pengorbanan pamanku yang memberangkatkanku ke pondok. Aku seperti memiliki kewajiban untuk membuatnya bahagia dengan cara aku mengikuti apa yang diinginkannya meski aku tak menyukainya.
Tak terasa sebulan sudah aku hidup di Pesantren Al-Washilah. Bukannya tambah betah, malah sebaliknya. Lebih parahnya lagi, suatu saat ada masalah antara aku dengan salah satu pengurus yang bernama Abdul Karim.
Subuh itu, para pengurus di kompleksku menjalankan tugasnya, yakni membangunkan para santri agar segera berangkat dan shalat di masjid pesantren. Salah satu dari mereka yang kebagian jadwal membangunkan santri adalah seorang santri senior yang bernama Abdul Karim. Dari tampangnya saja sudah akan menimbulkan kesan bahwa ia seseorang yang sangar, sangat cocok dengan jabatannya sebagai pihak keamanan dan mahkamah kompleks Al-Ihsan, tempatku berdiam. Banyak santri yang membicarakannya, terutama sikapnya saat mengatur para santri, yang dianggap sangat kasar. Dan pada subuh itu, aku akhirnya menyaksikan sendiri sikap seorang Abdul Karim.
“Plak… Plak… Ko bangun, siap-siap pergi ke masjid!” kata Karim lalu menamparku. Entahlah, mengapa ia sampai berani menamparku. Aku memang sedikit sulit untuk dibangunkan, karena kebiasaanku selama hidup sebelum mondok adalah jarang sekali bangun pagi-pagi.
Aku sontak bangun. Bukan karena menuruti perintahnya, tetapi karena emosi, tak terima dengan perlakuannya yang semena-mena. Hingga akhirnya aku langsung berdiri dan menanyakan kenapa dia menamparku.
“Kenapa kau menamparku?!” aku berseru.
“Kau melawan?!”
“Iya, aku melawan. Kenapa kau menamparku? Apa gak ada cara lain selain menampar?” teriakku, melebihi suaranya.
Teman-teman kamarku dan santri kamar lain yang kebetulan berada tak jauh dari kami, sontak berkerumun, melihat pertengkaran kami. Sebagian malah ada yang berusaha menghentikanku dan memintaku untuk menuruti perintah Karim, tapi mereka kemudian beringsut mundur setelah kubentak.
Setelah percekcokan tersebut, terjadilah perkelahian antara aku dan Karim. Aku tak mampu menahan emosiku yang memuncak. Baku hantam tak terelakkan hingga membuat wajahku lebam dan berdarah, tak jauh berbeda dengan wajah Karim. Santri yang melihat kejadian tersebut buru-buru melapor ke salah satu asatudz. Hingga akhirnya datang salah satu ustadz dan berhasil melerai perkelahian. Aku dan Karim lalu dibawa ke sebuah ruangan untuk dimintai keterangan. Salah satu asatidz membuka pembicaraan dengan melemparkan pertanyaan kepadaku. Ini masalah serius. Apalagi berkelahi karena membangkang ke pengurus.
“Niko, tolong jelaskan apa yang terjadi hingga kamu berani berkelahi dengan pengurusmu sendiri,” Ustadz Mahmud bertanya memulai sidang. Tadi aku dibawa ke ruangan Mahkamah Pesantren yang merupakan badan yang menangani segala tindak pelanggaran santri.
“Dia menamparku,” kataku dengan intonasi tinggi sembari kutunjukkan bekas tamparan di pipiku.
“Mungkin Karim ada maksud, sehingga dia berlaku seperti itu ke kamu,” kata ustadz berusaha adil, tapi yang ada di pikiranku adalah ustadz yang berusaha membela Karim.
“Apa tak ada cara lain selain dengan menampar?! Ustadz, pengurus itu digugu dan ditiru! Jika pengurus tidak bisa menjadi cermin yang baik untuk bawahannya, jangan salahkan apabila kami melawan. Saya sebagai bawahan berhak untuk membalas perbuatannya,” kataku dengan nada tinggi.
“Iya, tapi perbuatanmu itu tidak benar,”
“Dia menamparku hanya karena aku sulit dibangunkan. Apa gak ada cara lain yang lebih baik? Hingga apa saya salah jika saya melawan karena ia main tampar?”
Entah apa yang ada di pikiranku waktu itu, amarahku berkobar-kobar bagai api yang melalap seisi hutan. Sampai pernah aku berniat untuk membunuh Karim. Tetapi aku teringat kejadian 3 bulan yang lalu, peristiwa yang membuatku jadi buronan polisi.
Tepat pada malam Minggu, aku dan Wahyu berencana untuk membunuh salah satu temanku sendiri yang kelakuannya sangat brengsek. Dia sudah melakukan pelecehan seksual kepada teman waktu SD secara paksa. Malam itu, aku dan Wahyu mengajak temanku bernama Ardi. Kami bertiga berkeliling sekitar daerah Surabaya, tepat pukul 00.45 WIB. Aku dan Wahyu lalu melaksanakan rencana membunuh Ardi dengan memakai sebilah pisau, dengan dua tusukan di bagian lambung dan satu tusukan di daerah paru-paru, tak lama kemudian Ardi tewas. Setelah Ardi tewas, secepat mungkin kami memasukan mayat Ardi ke dalam karung dan kami buang ke Kali Rolak Jagir. Tapi upaya kami gagal karena kami kepergok oleh salah seorang warga yang melintas di tempat kejadian. Segera kami melarikan diri tanpa membawa mayat Ardi yang tergeletak di jalan. Pagi harinya, kami dicari-cari oleh polisi, tapi untungnya aku dan Wahyu berhasil melarikan diri.
Setelah teringat kejadian itu, kuurungkan niatku untuk membunuh Karim. Sejak terjadinya perkelahian antara aku dan Karim, aku jarang masuk sekolah ataupun berbagai kegiatan di pondok. Aku lebih suka berdiam diri di sungai yang terletak di belakang asrama putri. Suatu waktu aku memikirkan keadaan Wahyu yang dua bulan lalu meninggalkanku dan surat yang dititipkannya, dia pamit ke Jakarta mencari pekerjaan untuk biaya hidup.
Mungkin hanya karena terpaksa dan ingat perjuangan paman yang mengharapkanmu menjadi orang baik, aku bisa selama ini tinggal di pesantren.
*****
Hari-hari setelahnya mungkin termasuk yang terburuk dalam hidupku. Mengapa tidak. Setelah kasus perkelahianku dengan Karim. Aku mendadak terkenal seantero pesantren. Masyhur dalam konotasi yang berbeda, yaitu karena kebandelan dan kenakalanku. Hingga sampai hari ini, kurang lebih sebulan setelah perkelahian itu, setiap harinya aku pasti terkena sanksi. Seperti keadaanku sekarang.
Apabila santri lain berangkat ke madrasah, justru aku tidak. Aku masih menjalani hukuman lantaran ketahuan mencoba kabur dari pesantren. Pihak mahkamah lalu menjatuhiku hukuman rambut dibotak plus mengaji tiga jam. Ini sudah dapat dua jam setengah. Aku mengumpat di dalam hati, orang-orang di sini sepertinya tidak memiliki perasaan. Hingga kuanggap tempat ini lebih buruk dari kamp militer.
“Tadz, saya mau sekolah dulu. Ntar sisa hukumannya dilanjutkan sesudah pulang sekolah, gimana?” pintaku. Entah kenapa tiba-tiba muncul ide tersebut untuk meloloskan diri dari hukuman kali ini.
“Alaaa, kau palingan mau kabur kan? Sejak kapan kau rajin masuk sekolah?” bantah Ustadz Nayahri.
Sial, umpatku dalam hari. Sebegitu terkenalnya kenakalanku sampai seluruh warga pesantren mengetahui seperti apa seorang Niko.
“Kau ngaji saja yang bener. Baca Qur’anmu, jangan bengong saja, jika kau gak mau hukumanmu diperpanjang,” lanjut Ustad Nayahri.
Aku menghela nafas, malas. Segera aku menunduk, memandangi Mushaf Al-Quran yang ada di tanganku, sembari menggerakkan bibirm seolah-olah aku memang benar-benar membacanya.
Saat yang kutunggu akhirnya tiba, hukumanku selesai. Aku bernadas lega. Tiga jam bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi jika mulut dipaksa untuk selalu membaca Al-Qur’an. Aku beranjak dengan langkah tertatih, pegal. Kaki dan betisku pasti kram, setelah dipaksa berdiri selama tiga jam.
Sebelum aku beringsut menjauh dari kantor mahkamah, salah satu Ustadz kembali memanggilku dengan sedikit berteriak.
“Eh, kau yang baru selesai mengaji, sini!” ternyata Ustadz Nayahri yang kembali memanggilku.
“Ada apalagi ini?” rutukku dalam hati.
“Iya tadz, ada apa?” kataku terpaksa, berusaha memasang raut wajah tenang meski kesal setengah mati.
“Kau sekarang dipanggil Kiai ke dhalem,” kata Ustadz Nayahri memberi tahu. Aku mengernyit. Ini aneh sekali, meski sering menjalani hukuman, aku tak pernah sampai dipanggil kiai. “Ada apa ya, Tadz, beliau menyuruh saya ke sana?” kataku dengan pikiran yang tak menentu. Jangan-jangan aku hendak dikeluarkan dari pesantren. Aku segera menepis spekulasi buruk itu. Meski tidak betah di pesantren, aku hanya ingin berhenti, bukan malah diberhentikan.
“Kau cepat ke sana sajalah, jangan buat kiai menunggu,” pungkas Ustadz lalu berbalik masuk.
Aku berpikir sejenak, berusaha menerka-nerka apa maksud dari semua ini. Tak lama kemudian, aku beranjak menuju dhalem Kiai.
*****
Sampai di dhalem, kulihat kiai tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Rupanya beliau tengah menunggu kedatanganku. Aku mengucapkan salam, lantas perlahan mendekat. Mungkin, di pesantren ini hanya pada kiai aku takut dan takdzim.
“Kau sudah datang, Nak. Mari masuk,” kata beliau ramah. Aku agak heran, dari tumpukan daftar hitam kelakuanku di pesantren, mungkin kiai sampai tahu, tetapi mengapa beliau begitu ramah kepadaku.
“Kau tau apa maksud dan tujuan saya memanggilmu kemari?” tanya kiai setelah aku duduk bersimpuh di hadapannya.
Aku menggeleng pelan, pikiran buruk kembali menghantuiku, tetapi segera kuusir jauh-jauh setelah menyaksikan perlakuan kiai kepadaku.
“Maukan kau memijit saya?”
Aku mengangguk, meski sekarang dalam hatiku timbul banyak pertanyaan.
“Baiklah, karena kamu mau, bisakah kita mulai sekarang juga?” kiai kembali bertanya.
Aku kembali mengangguk, menuruti permintaan kiai.
“Eh, kau sudah makan, Nak?”
“Belum, Kiai,” kataku jujur. Sungguh, aku mulai tersentuh dengan akhlak kiai yang begitu mulia.
“Kau makan dulu,”
Kiai lalu memanggil salah satu khadimnya, bilang suruh melayaniku dengan baik.
Setelah selesai makan, aku langsung melakukan tugas yang diberikan kiai. Entah, sampai saat aku memijitnya, aku masih tak menemukan jawaban atas apa maksud sebenarnya kiai memanggilku dan menyuruhku memijat beliau.
*****
Setelah kejadian tersebut, kiai mulai sering memintaku melakukan pekerjaan yang sama. Sampai saat itu juga pertanyaan itu belum menemukan jawaban yang memuaskan. Yang paling kuingat adalah kiai yang selalu mengajakku bicara dengan beliau saat aku memijatnya. Setiap pertemuan, beliau selalu membicarakan berbagai hal, sesekali aku menjawab pertanyaan beliau.
Aku akhirnya mulai mengerti maksud dan tujuan beliau. Kiai menyampaikan pelajaran dengan menggunakan caranya sendiri, menasehati dengan lembut dan santun. Hingga akhirnya perangaiku lambat laun mulai berubah. Tak ada lagi hukuman-hukuman yang harus kuterima, karena aku memang jarang melanggar. Aku merasa mulai betah di pesantren. Tentang ini pernah menimbulkan dialog yang cukup menarik antara aku dengan salah satu kawanku.
“Kasian mahkamah sekarang, nganggur, gak ada kerjaan,” katanya.
“Kenapa?” aku bertanya.
“Yah gak lagi sibuk-sibuk razia sana sini, kan kamu udah insyaf. Jadi mereka nganggur sekarang,”
Dalam diriku, ada harapan yang mulai tumbuh, ada impian yang mulai terbangun. Mungkin sekarang semua itu masih menyerupai puzzle yang tak beraturan. Tapi aku tak khawatir, semuanya akan mulai kususun, satu persatu, hingga kemudian tertata sempurna.
Penulis. Muhammad Ali
Untuk pengiriman karya tulis maupun informasi lebih lanjut silakan hubungi admin
0851-83019262 (WA)