(Dok: Zakaria)
Ponpesgasek.id—Perasaan speechless masih dominan. Bagaimana tidak, hanya hitungan beberapa hari mulai dapat tawaran seorang hafidhoh (tertulis 2) hingga mencantumkan nama —berbekal kemantaban hati, ya sedikit ngawur— seseorang (tertulis 1) untuk disowankan.
Rutinitas sudah seperti biasa dengan jamaah subuh dan ngaji subuh. Sekarang ketambahan piket ndalem, karena kelas III mendapat amanah membersihkan halaman depan, dan belakang ndalem
Kelihatannya sepele, tetapi tanggung jawab dan memaknainya amat besar bagi yang menghayati.
Selasa dan Kamis adalah jadwalku piket. Langsung pukul 06.30 kuambil sapu dan cikrak. Terlihat segerombolan santri berdiri mematung yang juga sowan.
Ah biarlah, ku selesaikan kewajiban baru setelah itu aku sowan.
Selesai piket, bergegas ke kelas. Desas-desusnya juga akan menyowankan soal acara Bahstul Masail antar komplek mujawwibnya. Karena diamanahi sekretaris, auto sungkan kalau tidak ikut nemenin sowan.
“Okelah, tak adus sik,” ucapku kepada Cak Ipud.
Tahu sendirilah, mandinya anak putra tidak selama anak putri..heheheu. Selesai. Ku teguhkan hati untuk sowan ketiga kali mendapat jawaban hasil istikhoroh kiai.
Bertepatan saat itu ada salah satu kegiatan kelas III yang butuh disowankan. Berkas-berkas untuk persetujuan Bahstul Masail baru di print. Sekalian sowan, banyak maksud dan tujuan terselesaikan.
Berdiri puluhan menit di depan ndalem bersama satu teman kelas, berbekal map berisi surat persetujuan acara ‘Bahstul Masail’. Berbarengan santri-santri lain yang ikut sowan, sudah keluar ndalem.
Tidak berselang lama, KH Ahmad Muhammad Arif Yahya mempersilahkan masuk kedua pemuda yang ingin diakui santri. Awal membungkuk lalu mbrangkang menuju tempat duduk kiai kharismatik tersebut.
Temanku langsung matur keperluan sowan. Sedikit bertanya soal pertanyaan, siapa yang menjadi perumus hingga mushohih. Aku ikut menjawab pertanyaan yang diberikan, bahwa yang menjadi perumus adalah gawagis dan asatidz pondok.
Disela-sela jawaban tersebut, tiba-tiba beliau berkata “Samean nggeh, wingi nedi istikhoroh”.
“Inggih Kiai,” sontak hatiku berdebar. Tidak menyana beliau mendahului krenteg dalam hatiku. Sebab setelah selesai membahas kegiatan kelas III, sudah kupersiapkan sejurus tata bahasa matur ke kiai.
Karena apa? Ndredeg, keringat dingin, pasti.
“Nomor setunggal. Sami-sami pahinge sing kathah sabar lan pengertian,” hehe, beliau sambil tersenyum.
(Nomor 1. Sama-sama Pahing-nya (sebuah nama pasaran, penanggalan Jawa)
“Ngapunten Yai, menawi nomor setunggal setunggal dusun. Kalih dalemipun sami madep ngidul” (Mohon maaf kiai, kalau nomor 1. orangnya satu dusun. Serta rumahnya sama-sama menghadap ke selatan)
“Mboten nopo-nopo” (tidak apa-apa)
“Ngapunten Yai, kulo kepingin riyadhoh. Menawi enten amalan ingkang pas kagem kulo. Kajenge nirakati larenipun lan gesang kulo” (Mohon maaf kiai, saya ingin beriyadhon. Barangkali ada amalan yang pas untuk saya. Ingin menirakati dia dan hidup saya)
“Dalail nggeh saget. Daud. Sholawat dan Istigfar 100x isuk lan sore” (Dalalil —sejenis sholawat berhizib lumayan panjang— bisa diamalkan juga Puasa Daud. Sholawat dan istigfar 100x”
Sudah kusiapkan Bolpoin Hitect (sebut merek) dan sebuah buku saku untuk mencatat semua nasihat kiai. Seperti merekam berbentuk tulisan, terlihat remeh dan receh. Tapi itulah yang sampai saat ini memberikan saksi setiap apapun kejadian aku tulis.
Lafadz yang utarakan kiai langsung aku tulis. Sama persis, supaya mendapat ziyadah dari yang beliau ijazahkan.
Disaat hati yang masih berdebar —dag dig dug seperti speechless— ku bergegas meminta doa restu agar acara kelas III untuk Bahstul Masail berjalan lancar. Serta yang pasti semua urusan dipermudah.
Kiai Ahmad langsung memanjatkan doa, kusambut menengadahkan kedua telapak tangan dengan jejeg. Soalnya dulu pernah sowan lebaran tiga tahun yang lalu, ketika berdoa membungkuk, saya diutus untuk jejeg (tegak lurus).
Mengangkat kedua tangan dengan posisi tegap merunduk. Tak kuasa derai air mata jatuh satu per satu, menjemput telapak tanganku. Seakan lapisan kulit tersenyum haru dan tahu.
Kedamaian yang hanya beberapa menit tersebut ku rasakan ingin ku tahan berlama-lama dengan murabbi ruh. Sang penerang hati dalam kegelapan kota pendidikan di perantauan.
Ditutup dengan hadiah surah Al-Fatihah. Ku usap kedua bola mataku. Sembari melirik tempat duduk beliau, praktis hanya fokus memandang bagian bawah. Terlihat kaki beliau seperti ratusan rakaat sholat malam yang menyebabkan seperti itu.
Mencuri-curi pandang, tapi hanya dalam ingatan wajah teduh beliau. Sebab tidak mampu, sungkan, dan kurang ajar jika harus mengangkat kepala.
Pamit kembali. Sembari mundur dengan mbrangkang.
Huuuuuft . . . hiiiiiiiiih. . . (mengambil nafas dalam-dalam) Udara pagi di luar ndalem terasa sejuk.
Entah apa yang membuatku tersenyum lebar. Pun motor-motor yang terparkir di sepanjang samping madrasah ikut sumeh kelekar.
Di kelas membuncah, hati terasa plong, tapi masih belum percaya. (Aku maeng sowan hasil jawaban istikhoroh bener nomor 1 ya),😶
Kuambil handpone, tepat Selasa, 21/12/2021 menghubungi pihak nama yang bersangkutan (tertulis 1). Antara senang, haru, isin, dan penuh harap.
“Tanggal 21/12/2021 bismillah tanggal cantik.
Semoga secantik dan diperlancar hubungan kita. Lahumal Faatihah…😭
Ampun di up dulu yak.”
“Mauuu nangis😭😭😭”
“Tas dhuha + waqiah.
Eh d chat beginian😭😭.”
“Subkhanallah…😭🤲🏽Gak nyangka atas jawaban beliau.”
“😭Mbah Yai pripun to haduh garai nangis.”
“Istigfar ben tenang.”
“Greweli masyaallah😭.”
“Insyaallah Sabtu Minggu kulo balik. Selain ke emak, juga sekalian menghadap ke ibuk e samean. Bismillah.”
“Saestu keputusanipun yai??😭.”
“Leres.”
“Saksinya temenku, sowan bareng buat acara kelas.”
“🥺nangis ya Allah.”
“Cup cup cup. . . 😔.”
“Secepat ini🥺.”
“Kulo namung mengikuti alirnya air sing ditakdirkan Pengeran.”
“Mamak mpun ngrti nangis terharu moco chate sman.”
“😭”
“Feeling ku sangat kuat berarti dudu kepedean 🥺.”
“Pie pie feeling e samean? Cerita dong, lak gak repot.”
“Sek mas tak meres baju hpku damel vc. Sabar yaa 😭aaa semangatsemangatt. Ehm biasane kan d chati cowo i gak seneng dingin bgt kan mas apalagi bahas lgsg nikah2🙃tp gak ngrti pas sman chat kok biasa ae. Kayakk cocok. Trus sman izin d istiqarah ne iku yaa gak pie2.”
“Disisi lain aku ya bosen panggah pacaran sg gaenek kepastian.”
“Kan wes kenal..masok arep dingin..🤭”
“Samean sanggup menerima kekuranganku, keluargaku, dan semuanya?
Samean takok nopo kulo jawab. Sak elek²ku loos, ben podo plong e. Gak enek sing tak tutupi.”
“Hihi pkok aku mbarang belom sepenuhe jd wanita baik2 . Perilakuku ,sifatku belom seberapa baik. Pendosa bgt tapi semua orang ingine jadi versi terbaik.Banget. ternyata tremor tenan lak ditari rabi🤣👍🏻
Diingi punya nadzar. Lak samean milih aku. Aku Senin Kamis poso. 2 hari aja🤭gpopo soale wedi lk nadzar e banyak2 tp gak nyanggupi jadi dosa 😭aku meng negatip thinking wi paling tulisane sman dewe.”
“Tulisanku dewe, beliau kan sepuh. Sanjang terus kulo catet.”
“Maasyallah Mbh Yai 🥺 Padahal dilihat dari segi pandang aku wanita pendosa.”
“Aku pun kepingin memperbaiki awakku, berjalan sambil nunggu sah.
“Amiin bisa. Kita bisa a☺️🤲🏻.”
Satu minggu proses pendekatan intens, awalnya sok sok-an netral. heheuheu. Menyimpan sebuah harapan. Ternyata menjadi sebuah kenyataan.
Begitulah kehidupan. Tiada yang mengetahui kapan harus didekatkan kepada seseorang pilihan.
Perjalanan menuju sebuah pernikahan adalah sebuah keniscayaan. Cepat atau lambat. Tinggal bagaimana menyikapi, menjalani, mensyukuri dengan penuh iklas hati.
Jalan setiap nafsi-nafsi berbeda. Allah lebih mengetahui dan memiliki kuasa atas makluk, pun hak adami. Dimana hati akan berlabuh, dalam lautan yang menepi ke tempat yang teduh.
#part IV
Untuk pengiriman karya tulis maupun informasi lebih lanjut silakan hubungi admin
082334153540 (WA)