Ponpesgasek.id-Pandemi covid-19 yang terjadi lebih dari satu tahun lamanya mengakibatkan banyak kerugian bagi pemerintah dan juga masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat pemerintah pun memberikan berbagai pengaruh, dari pengaruh yang positif dan juga negatif. Contohnya, banyak sekali himbauan untuk ‘Stay at Home’. Hal ini mengakibatkan munculnya sifat individualis dalam masyarakat. Mereka yang biasanya saling membantu, akan saling berebut untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Rasa gotong royong pun semakin menipis. Kemajuan teknologi dan informasi yang semakin maju, memberikan sedikit bantuan untuk mengurangi rasa individualis dalam masyarakat. Akan tetapi, sopan santun dan tata krama yang mereka praktekkan dalam berkomunikasi melewati jejaring sosial sering kali melewati batas. Banyak sekali pelanggaran yang terjadi di jejaring sosial.
Quraish Shihab menegaskan bahwa moral yang diajarkan dan dipraktikkan oleh leluhur bangsa, demikian juga yang diajarkan oleh agama, tidak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian kita. Ia telah hilang, lanjutnya, padahal ia adalah milik bangsa Indonesia yang paling berharga sekaligus sangat dihargai orang lain.
Kritik yang dialamatkan pada seluruh bangsa Indonesia itu kini benar-benar terasa menusuk, dan seharusnya menjadikan penyadaran bahwa etika, akhlak, dan sejenisnya telah lama kita abaikan. Ruang-ruang privat, bahkan publik sekalipun sungguh sudah dipenuhi oleh hasrat buas, ujaran kebencian, mengumbar aurat, dan mematikan karakter orang lain. ‘Minus etika’ itulah kata yang tepat untuk mengungkapkan realitas kekinian kita. Media sosial yang harusnya menjadi tempat untuk mempererat tali persaudaraan, berbagi berita, dan pengalaman malah menjadi bom tersendiri untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Fitnah yang dalam agama jelas dilarang keras, di era keterbukaan informasi ini justru semakin marak, dan medsos lagi-lagi dijadikan sebagai media untuk menyebarkannya. Tidak hanya fitnah, medsos juga menjadi ajang ghibah, namimah (adu-domba) dan sejenisnya.
Dibawah ini adalah beberapa adab atau etika dalam bermedia sosial
Pertama Tabayyun (cek dan ricek). Dalam (QS. Al-Hujurat [49]:6) disebutkan bagaimana etika serta tata cara menyikapi sebuah berita yang kita terima, sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Yā ayyuhallażīna āmanū in jā`akum fāsiqum binaba`in fa tabayyanū an tuṣībụ qaumam bijahālatin fa tuṣbiḥụ ‘alā mā fa’altum nādimīn”.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat [49]:6)
Quraish Shihab menerangkan ada dua hal yang dapat diperhatikan terkait ayat tersebut. Pertama, tabayyun terhadap pembawa berita apakah orang fasiq (orang yang aktivitasnya diwarnai dengan pelanggaran agama). Kedua, menyangkut dengan isi berita bahwa perlu adanya penyelidikan kebenaran sebuah berita. Ketiga, menyampaikan informasi dengan benar. Firman Allah SWT:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ حُرُمٰتِ اللّٰهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۗ وَاُحِلَّتْ لَكُمُ الْاَنْعَامُ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْاَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْلَ الزُّوْرِ ۙ
“Dzaalika wa mai yu’azzim hurumaatil laahi fahuwa khairul lahuu ‘inda Rabbih; wa uhillat lakumul an’aamu illaa maa yutlaa ‘alaikum fajtanibur rijsa minal awsaani wajtanibuu qawlaz zuur”
Artinya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al-hajj [22]:30)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kita harus menjauhi segala mua perkataan dusta atau bohong. Dan kita juga harus bisa untuk membedakan antara berita dusta dan berita yang benar.
Ketiga, tidak menebar fitnah, kebencian, dan lain sebagainya. Dalam Fatwa MUI No 24 Tahun 2017, disebutkan juga mengenai Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Hal ini berkaitan dengan perilaku masyarakat dalam menggunakan medsos yang berdampak positif. Keempat, menggunakan media sosial sebagai sarana amar ma’ruf nahi munkar yang menjamin dan mengatur kebebasan ekspresi. Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap insan. Namun, berpendapat sering kali disalahgunakan untuk membuat fitnah, opini palsu, dan menebar kebencian yang sering diutarakan melalui media sosial. Kelima, media sosial tidak digunakan untuk mengolok-olok orang lain. Seperti disampaikan dalam firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Yaaa ayyuhal laziina aamanuu laa yaskhar qawmum min qawmin ‘asaaa anyyakuunuu khairam minhum wa laa nisaaa’um min nisaaa’in ‘Asaaa ay yakunna khairam minhunna wa laa talmizuuu bil alqoob; bi’sal ismul fusuuqu ba’dal iimaan; wa mal-lam yatub fa-ulaaa’ika humuzh zhalimuun”.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat [49]:11)
Keenam, tidak menebarkan kebencian dan berita palsu. Dalam (QS. An-Nur [24]:4) Allah SWT melarang untuk menebar kebencian dan membuat berita palsu:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ
“Walladziina yarmuunal muhsanaati summa lam yaatuu bi-arba’ati shuhadaaa’a fajliduuhum samaaniina jaldatanw wa laa taqbaluu lahum shahaadatan abadaa; wa ulaaa’ika humul faasiquun”.
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur [24]:4)
Melalui beberapa etika di atas, kita sebagai manusia harus bisa saling menghargai dan juga menghormati. Walaupun hanya dalam media sosial yang bersifat virtual. Tak luput juga dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kita juga harus berusaha untuk membantu dan juga meluruskan berbagai hal yang salah dalam media sosial.
Penulis : Al-Wardatul Mahfudhoh
Editor : Muhson Al-Farizi
Untuk pengiriman karya tulis maupun informasi lebih lanjut silakan hubungi admin
0851-83019262 (WA)