(Dok: iqra’.id)
Ponpesgasek.id – Duka masih menyelimuti tanah air. Al-Alim Al-Allamah K.H. Maimun Zubair telah kembali ke haribaan Ilahi Rabbi saat melaksanakan Ibadah Haji pada Selasa, 6 Agustus 2019 / 5 Dzulhijjah,1440 di RS An Noor pada pukul 04.17 waktu Saudia Arabia di usia 90 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la komplek 70 nomor 151 urutan ke-4. Pekuburan Ma’la terletak kurang lebih 1,5 km dari Masjidilharam dan pekuburan Ma’la itu sangatlah istimewa, sebab merupakan tempat di mana Sayyidah Khadijah dan para sahabat dikuburkan. Di antaranya: Qosim, putra Nabi Muhammad SAW dan paman beliau, Abdul Muthollib. Tiada tempat terindah untuk Mbah Mun kecuali surga-Nya. Allahumma Aamiin.
Beliau merupakan kiai sepuh yang sangat dihormati. Para santri di banyak pesantren sudah tidak asing lagi dengan sosok beliau. Beliau adalah K.H. Maimun Zubair (Maimoen Zoebair) atau lebih akrab dikenal dengan Mbah Mun. Beliau merupakan salah satu ulama yang ‘alim dengan sanad keilmuan sampai Rasulullah SAW. Kearifan, kebijakan, dan sikap beliau menjadi teladan. Tutur kata beliau yang bijak, diam beliau berwibawa, nasehat beliau bermanfaat, pitutur-pitutur beliau memberikan cahaya, serta banyak sekali hikmah-hikmah yang ada pada diri beliau.
Ciri-ciri Itulah yang membuat Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj M.A yakin bahwasanya Mbah Mun benar-benar sosok waliyullah. Hal tersebut disampaikan saat memberikan sambutan di gedung PBNU dalam acara tahlilan mengenang wafatnya K.H. Maimun Zubair. “Beliau adalah minal autad waliyullah dan beliau merupakan pasak di bumi Nusantara ini, dengan kepergian beliau kami merasa goncang, kami kehilangan keseimbangan, kami kehilangan pasak atau patok yang selama ini menjadi pemerkuat (penguat -red) ukhuwah persatuan kita”.
Pendidikan dan Keluarga
Beliau adalah putra pertama dari Kiai Zubair yang merupakan murid pilihan dari Syekh Sa’id Al-Yamani serta Syekh Hasan Al-Yamani Al-Makky. Ibundanya adalah putri dari Kiai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang karismatik yang teguh memegang pendirian. Beliau dilahirkan di Karang Mangu, Sarang hari Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1348H atau 28 Oktober 1928. Kedalaman ilmu dari orang tuanya, menjadikan dasar pendidikan agama beliau sangat kuat. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal berbagai ilmu-ilmu agama seperti Shorof, Nahwu, Fikih, Manthiq, Balaghah dan ilmu syarak yang lain.
Pada usia yang masih muda, beliau sudah mampu hafal di luar kepala kitab-kitab nadzam, di antaranya: Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, dan masih banyak lagi. Setelah mengaji dan mendalami ilmu agama dari ayahnya, kemudian K.H. Maimun Zubair meneruskan mondoknya di Lirboyo Kediri di bawah asuhan K.H. Mahrus Ali dan K.H. Marzuki Dahlan. Pada umur 21 tahun, K.H. Maimun Zubair melanjutkan belajar ke Makkah al-Mukarramah. Perjalanannya ke Makkah ini didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni K.H. Ahmad Bin Syu’aib. Di Makkah, Beliau menuntut ilmu kepada banyak ulama, diantaranya: Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Dua tahun lebih beliau menetap di Makkah al-Mukarramah. Kembalinya dari tanah suci, beliau masih melanjutkan semangatnya untuk ‘ngangsuh kaweruh’ dengan meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di tanah Jawa. Di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abdul Fadhol Senori (Tuban) dan beberapa Kiai lainnya.
Pada umur 25 tahun, K.H. Maimun Zubair memutuskan untuk menikah. Beliau mempunyai 2 istri, yang pertama yaitu Hj. Fahimah Putri K.H. Baidhowi Lasem, dan dikaruniai 7 anak. Empat di antaranya meninggal pada waktu masih kecil, sedangkan 3 lainnya yaitu: K.H. Abdullah Ubab, K.H. Muhammad Najih, dan Neng Shobibah. Setelah istri pertama meninggal, beliau memutuskan untuk menikah lagi dengan memperistri Nyai Masthi’ah putri K.H. Idris asal Cepu Blora. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 6 putra dan 2 putri. Di antaranya adalah K.H. Majid Kamil, Gus Ghofur, Gus Rouf, Gus Wafi, Gus Yasin, Gus Idror, Neng Shobihah (meninggal), dan Neng Rodhiyah.
Perjalanan Pesantren dan Karir Politik
Pada tahun 1965, K.H. Maimun Zubair istikamah mengembangkan Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang Jawa Tengah yang tak lain bertempat di kediaman beliau sendiri. K.H. Maimun Zubair juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri, seperti kitab dengan judul Al-Ulama Al-Mujaddidun. Dari pesantren inilah mulai terbuka kesempatan bagi calon santri dari seluruh penjuru negeri untuk menimba ilmu langsung dengan beliau. Pesantren ini kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats. Sekitar tahun 2008, beliau kembali mengibarkan sayapnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang, yang kemudian oleh beliau dipasrahkan kepada putranya K.H. Ubab Maimun.
Beliau merupakan ulama sekaligus penggerak ormas terbesar di tanah air, yaitu Nahdlatul Ulama. Selama ini, Kiai Maimun menjadi rujukan ulama Indonesia, khususnya dalam bidang Fikih. K.H. Maimun Zubair, bukan saja dihormati oleh kalangan pesantren saja, namun di kalangan pemerintahan dan masyarakat juga sangat disegani dan dihormati. Mbah Mun juga dikenal sebagai ulama yang selalu dinantikan nasihat maupun petuahnya oleh banyak orang karena keluasan ilmu dan tutur beliau. Beliau mampu menyejukan dan mendinginkan suasana hati ketika terjadi masalah.
Dalam catatan sejarah hidupnya, K.H. Maimun Zubair juga merupakan tokoh yang aktif di berbagi bidang sebagai wujud pengabdian beliau kepada negara. Selama hidupnya, K.H. Maimun Zubair berkiprah sebagai Muharrik (penggerak). Beliau pernah menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun, selain itu juga pernah menjadi anggota MPR RI yang mewakili daerah Jawa Tengah selama tiga periode. Beliau juga masih aktif sebagai Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Politik dalam diri K.H. Maimun Zubair bukan hanya tentang perkara keduniaan saja, melainkan sebagai wujud bela negara dalam konteks Islam yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarkat dan agama manapun.
Untuk Mbah Mun, Al-fatihah.
Penulis : Mamik Rokhimah
Editor : Zahro’ul Aini
Untuk pengiriman karya tulis maupun informasi lebih lanjut silakan hubungi admin
0851-83019262 (WA)