Website Resmi Ponpes Sabilurrosyad Gasek Malang

Khidmah Konten dari Pesantren

Khitbahmu

Ponpesgasek.id — Rinai hujan baru saja mengguyur bumi pertiwi, tapi aku masih terperangkap dalam gerimis, sisa-sisa hujan. Aku masih terdiam dengan memangku tangan. Ingin melangkah menelusuri gerimis yang masih mengundang dingin. Orang-orang sudah banyak meninggalkan masjid, hanya aku dan segelintir orang saja yang sok manja takut pada gerimis. Tiba-tiba terdengar dering telepon, membuatku gusar, mencoba mencari-cari, tapi,
“Astaghfirullah!” seruku pelan. Setelah teringat bahwa aku tak membawa hp, ternyata sumber suara itu berasal dari hp milik seseorang yang sedang mengalunkan ayat suci Al-Qur’an di dalam masjid.

            “Na’am, Ustadz, saya sudah mencari ibarotnya,” ucapnya yang sempat kudengar ada orang di seberang sana.

            “Na’am, Ustadz, syukron.” Suara itu semakin jelas, karena sekarang ia berada tak jauh dariku. Entah kenapa aku suka sekali memandanginya. Dia tak begitu tampan, tapi hatiku suka berdegup kencang saat aku memandanginya.
Dia berlari-larian kecil keluar dari area Masjid Al-Hikam ini. Tatapanku masih saja mengikutinya hingga ia tertelan oleh belokan yang tak bisa kutembus lagi.

            “Kak Arul,” selorohku yang telah mampu menghembuskan nafas dari mengembangkan senyumanku.

            Dulu aku pernah mengenal lelaku yang menyandang Khairul Azam, tapi sebelum ia berubah menjadi lelaki dewasa yang -menurutku- super cuek. Dia itu pendiam, dari dulu dia memang pendiam, hingga terkenal sebagai kakak tercuek sebelum ia pergi menimba ilmu ke Pesantren Nurul Cholil. Dan sekarang cueknya semakin parah. Tapi aku suka dia.

            “Mungkinkah aku jatuh cinta padanya?” batinku dalam hati.

            “Ah, tidak! Aku tak ingin jatuh cinta, aku takut seperti dulu lagi. Yang ada nantinya sakit, bukan bahagia,” celetukku, mengingat kenanganku saat bercinta dengan Fikri yang tiba-tiba menghilang, hingga saat akhirnya, kujumpai ia sudah menjadi suami Neng Farha, putri dari pengasuh.

            Mengingat tentang itu, hatiku jadi meringis kesakitan kembali. Aku sudah mencoba membuang jauh-jauh kenangan itu, tetapi aku tak bisa, karena di sana ada bingkai cerita yang pernah kutulis bersama Fikri.

            Gerimis pun menghilang tak tersisa, aku mengambil mushaf dan mukenah, lalu beranjak pulang.

*****

            Seusai shalat isya’, aku diajak bunda untuk menyaksikan pengajian di kampung sebelah, yang berada di Masjid At-Thariq, namanya juga wanita, aku masih memilih berhias di depan cermin. Entah mengapa malam ini aku ingin sekali tampil cantik, hehehe.

            Setelah terasa sudah siap, aku keluar dari kamar menemui bunda di depan rumah.

            “Lama banget, ngapain aja sih di dalem?” tanya bunda padaku.

            “Bunda kayak gak tahu anak muda aja,” kataku dengan senyum genit.

Bunda geleng-geleng kepala melihat tingkahku, kami berdua akhirnya melesat cepat ke Masjid At-Thariq. Beberapa menit kemudian, kami sampai di sana. Aku duduk di samping bunda.

            Alangkah bahagianya aku ketika tahu siapa MC-nya. Laki-laki itu berwibawa pintar dalam menyampaikan kata-kata, terlihat begitu sempurna saat dia berada di atas panggung.

            Kak Arul. Dialah lelaku sederhana yang kuimpikan selama ini. Tal tahu kenapa aku selalu merasa bahagia saat menatapnya, apalagi saat mendengar suaranya.

            “Hey, kenapa senyam-senyum begitu?” gertak bunda. Aku jadi salting saat menjawabnya.

            “Ah, itu Bun, MC-nya… Oups.” aku menutup mulut.

            “Kok aku jadi ceplas-ceplos gini sih?” gumamku.

            “Hayo, suka sama Arul, ya?” tebak bunda dengan menatapku aneh.

            “Ih, Bunda apaan sih. Udah ya, Bun, sekarang kita liat pengajiannya aja, udah hampir mulai tuh,” kilahku pada bunda dan bunda pun terkecoh.

            Acara pun dimulai, bunda konsentrasi melihay dan mendengar ceramah. Sedangkan mataku masih fokus pada Kak Arul. Rentetan acara pun berjalan lancar.

            Acara pengajian telah usai, orang-orang berhamburan meninggalkan majelis taklim. Aku dan bunda juga beranjak pulang. Kurasa ada sepasang mata yang begitu antusias mengamati gerak langkahku.

            “Ge’er,” pikirku.

            Kulihat di sekitarku tak ada orang selain aku yang sedang mencari kunci mobil yang sempat jatuh tadi.

            “Kak Arul ngapain sih liatin aku sampai segitunya,” batinku dan terus mencari kunci mobil.

            “Apa dia tahu kalo selama ini aku udah… nah ini dia kuncinya!” sambungku setelah kunci itu berhasil kutemukan.

            Dengan tergesa-gesa, aku melangkah menuju mobil, sementara bunda sudah sedari masuk.

            Di sepanjang jalan, aku kepikiran dengan sikap Kak Arul. Tak pernhdjejsjdneah kulihat dia peduli dengan keberadaanku. tetapi kenapa tadi dia begitu menatapku.

            “Apa aku punya salah, ya?” tanyaku.

            Sesampainya di kamar, otakku masih penuh dengan tanda tanya tentang Kak Arul. Aku lalu mencari buku diary-ku, tapi tak juga kutemukan. Aku mencoba keluar kamar, karena terkadang aku ceroboh. Aku mencari di ruang TV, di kamar Kaka dan Kiki, ruang tamu, dapur, dan rak buku di samping kamar kaka.

            “Oh my God, where my book!” selorohku sambil menutup pintu kamar. Kucoba mengingat-ngingat kemana terakhir aku bawa.

            “Astaghfirullahal adhim, ya Allah aku lupa, bukuku ketinggalan di masjid,” ujarku setelah ingat bahwa buku diary-ku, kemarin kubawa ke masjid.

            “Ya Allah, siapa yang akan menemukan bukuku. Ah, aku takut buku itu ditemukan oleh orang yang tidak tepat,” lirihku bingung.

            Aku bingung, bagaimana pendapat orang nanti. Aku takut satu kampung akan mengunjungiku. Pikiranku kabur pada negative thinking. Malam ini pikiranku tak karuan. Bingung, gelisah, takut, dan malu pada penemu buku itu. Nasib buruk ini menghampiriku. Kuberpikir sejenak, untuk menghindar dari rasa malu yang akan kutanggung.

            “Ya sudah, mulai besok, aku tak akan keluar rumah, apalagi kembali datang ke masjid,” pikirku dan mulai mencoba memejamkan mata, meski terasa sulit untuk dipenjamkan.

*****

            Segaris langit merah, hampir menjadikan petang yang pekat. Seruan pada Sang Ilahi telah menggema dari segala penjuru. Aku masih diam terpaku di balik jendela kamarku. pikiranku masih kacau oleh buku diary-ku yang hilang. Sekelebat wajah kak Arul melintas di otakku.

            “Assalamu’alaikum, Ukhty,” usik bunda yang tiba-tiba ada di belakangku.

            “Eh, Bunda.” Aku tercekat karena kaget.

            “Gak mau jawab salam Bunda dulu?” intruksi bunda kepadaku.

            “Oh iya, Waalaikum salam, Bunda,” sahutku datar dengan malu. “Maaf, Bunda, Fira gak denger,” tuturku tersipu malu.

            “Gimana Fira mau denger, orang pikirannya keluyuran kemana-mana.” Bunda tersenyum kepadaku.

            “Maaf, Bunda, Fira bener-bener gak denger,” ungkapku.

            “Emangnya Fira kenapa sih? Bunda perhatiin Fira sering ngelamun sampe gak pernah ke masjid,” tanya bunda.

            “Nggak kok, Bun, Fira gak kenapa-napa,”

            “Yaudah, yuk kita shalat dulu,” ajak bunda, aku mengangguk.

            “Bunda duluan, ya, Fira ambil wudhu’ dulu.”

            Bunda setuju dan melangkah menuju mushalla kecil di rumahku. Kudengar suara langkah lari, dan bisa kuyakini itu pasti kedua adik kembarku, dan daun pintu pun bergerak, Kiki muncul dari celah pintu.

            “Assalamu’alaikum, Kak,” sapa Kiki.

            “Wa’alaikumussalam, Kaka, Kiki,” ucapku setelah melihat Kaka muncul.

            “Ada apa?” tanyaku pada Kaka dan Kiki yang kini sudah duduk di sampingku.

            “Kak, tadi, Ustadz nanyain sampean,” ujar Kaka, aku mengerutkan dahi.

            “Ustadz siapa?” tanyaku penasaran, dan aku berharap itu adalah Kak Arul.

            “Ustadz Dhofir Ali,” spontan Kiki, ada kekecewaan yang kuterima.

            “Apa katanya?” tanyaku enggan.

            “Katanya, kenapa kakak gak ke masjid lagi?” tutur Kaka

            “Emang kenapa sih, Kak?” tanya Kiki.

            “Eh, sebenarnya kalian mau ngapain sih ke kamar kakak?” Aku balik bertanya.

            “Kebiasaan! Ditanya malah balik tanya!” sewot Kaka dan Kiki serempak. Aku tertawa mendengarnya.

            “Kakak cuman males aja,” sahutku di akhir tawaku.

            “Ini alas an kita disini,” Kiki lalu mengeluarkan amplop putih yang tertera namaku.

            Aku mengernyit tak mengerti. “Beneran buat kakak?” tanyaku tak percaya.

            “Musfiroh Nihlah Ilahiyah, ya, berarti punya kakak,” sahut Kiki.

            “Kalo Ahmad Zakariya atau Rizki Ramadhan berarti punya Kaka atau Kiki, gimana sih kakak,” omel Kaka.

            “Yuk ah kita main di luar,” ajak Kiki.

            “Terus maksud ini apa?” teriakku pada mereka yang sudah memegang gagang pintu.

            “Dibaca dulu dong, Kak,” serentak mereka berdua.

            Aku hanya diam, membiarkan mereka keluar. Setelah pintu tertutup, pintu Kembali terbuka. Aku heran, tiba-tiba wajah Kiki muncul.

            “Kak, nanti malam Kiki nginep di kamar kakak ya,” ucapnya. “Mas Kaka kalo tidur suka ngiler,” lanjutnya setengah berbisik. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian, Kiki menghilang dari balik pintu.

            “Nyebelin,” batinku pada kedua adikku itu.

            Dan dengan perlahan aku membuka undangan itu. Ternyata aku menjadi panitia di acara Masjid Al-Hikam.

*****

Acara di Masjid Al-Hikam pun selesai. Selaku menjadi panitia, aku masih bantu-bantu merapikan barang-barang. Aku mendapat tugas untuk merapikan kursi dengan Kak Arul.

            Dengan sok cuek, aku merapikan kursi-kursi itu. Setelah semuanya tersimpan rapi di dalam gudang, tak sengaja aku menabrak Kak Arul yang sedang membetulkan arloji di tangannya.

            “Maaf, saya gak sengaja,” spontanku.

            Kak Arul menatapku, membuatku salah tingkah.

            “Maaf, Kak, saya bener-bener gak sengaja,” lanjutku.

            Kak Arul tersenyum padauk.

            “Ih, nyebelin deh, kok malah senyum sih, bikin aku tambah baper aja,” batinku.

            “Saya mau bicara sesuatu sama kamu,” tuturnya.

            “Wow tumben-tumben amat, pake acara sesuatu lagi,” pikirku. Aku masih diam, tak bergeming dari ketidakmengertianku. Keadaan hening, entah sampai kapan keheningan ini akan mengurung kami berdua.

            “Bagi sampean, mungkin saya orang tercuek, tapi maaf saya bukannya cuek, bagi saya sikap say aitu sudah sewajarnya,” ucapnya memecah keheningan.

            Mendengar kata-katanya aku melongo bodoh. “Dari siapa Kak Arul tahu? Atau jangan-jangan…” batinku mencoba menebak.

            Kak Arul mengambil sesuatu dari balik pilar masjid.

            “Ini milik sampean?” Kak Arul menunjukan buku diary-ku yang hilang. Dan yang sudah membuat aku cemas bin panik.

            “Maaf, saya gak sengaja membuka, tapi saya tertarik dengan tulisan sampean, hingga membuat saya ingin membacanya. Saya semakin hobi membaca setelah melihat beberapa lembar foto di sini,” jelasnya, membuat wajahku merah padam tak mampu menahan malu.

            “Duh, pasti Kak Arul tahu semua apa yang aku tulis,” seloroh batinku.

            “Sampean gak keberatan, kan?” tanyanya padaku.

            “Mmm. Meskipun saya keberatan apa yang sampean baca, sampean tak akan mudah untuk melupakan tentang apa yang saya tulis,” sahutku terbata-bata.

            Sekali lagi ia mengembangkan senyumannya.

            “Maaf juga, saya sudah lancang menulis sesuatu di buku ini,” imbuhnya.

            “Mungkin itu kenangan terindah yang akan selalu aku simpan,” sahut batinku kegirangan.

            “Ini, terimakasih.” Kak Arul menyodorkan diary biru muda-ku.

            Aku hanya menyambutnya dengan kebisuan, sedangkan hatiku kian berdegup tak beraturan.

            “Assalamu’alaikum,” pungkasnya lalu pergi.

            “Wa’alaikumussalam,” jawabku sambil terus menatap kepergian Kak Arul. Aku masih menatap kepergian Kak Arul hingga seseorang datang menyenggol lenganku.

            “Hei, kenapa bengong?” gertak Aulia kepadaku.

            Aku menoleh, sebatas tersenyum dan kembali diam.

            “Jih, senyum, kenapa nih anak?” ujarnya. “Kenapa sih?” tanyanya lagi.

            “Gak kenapa-napa, aku hanya baru ketemu idola,” sahutku dan berlalu dari hadapannya. Aulia masih terdiam bingung, sedangkan aku terus berjalan semakin menjauh darinya.

            “Eh, Fira, tunggu!” kejar Aulia padaku, tapi aku masih terus melaju.

            “Main ditinggal saja,” sewot Aulia. Aku hanya tersenyum dan pulang bersamanya.

            Sesampainya di kamar dengan gementar, kubuka buku diary-ku. Di lembar pertama ada dua foto di masa aku masih SD dan SMP. Di bawah foto saat aku masih SD, ada tulisan Kak Arul yang berbunyi,

            “Liat foto ini, saya jadi ingat kelas dua sampean yang selalu berteriak, ‘TUNGGU’ karena tali Sepatu uamh selalu terlepas, Hehehe,”

            Kuulangi tulisan itu dan terdiam melayang le masa SD-ku.

            “Ternyata Kak Arul masih ingat kenangan sebelas tahun silam, ya,” ujarku dan tersenyum sendiri. Kubuka lembar bukuku, ada tulisan namaku di sana;

            “Musfiroh Nihlah Ilahiyah,”

            “Nama seseorang yang sudah mengatakan saya orang ter-cuek,”

            Aku pun tersenyum dan membaca tulisan di garis paling bawah.

            “Maaf, saya tidak suka jika dikatakan orang ter-cuek, karena untuk saya sikap saya itu sudah biasa, sudah seperti orang kebanyakan,”

            “Biasa apanya?” celetukku. “Makanya, senyum dikit gak apa-apa kok, biar gak dikatain cuek,” lanjutku. Aku terus membuka lebar buku-ku, hingga kutemukan Kembali tulisan indah milik Kak Arul;

            “Saya juga pernah kenal dengan sampean. Bahkan saat ini pun saya masih kenal akan sampean, hanya saja sampean masih tidak bisa menerima keadaan saya,”

            Aku mengerutkan dahi, dan kembali mencari tulisan Kak Arul.

            “Saya tidak tahu ada apa di hati sampean. Tapi saya mulai sadar, ternyata hati dan wajah sampean benar,”

            “Maksudnya” kucoba mengerti. “Make me confous,” imbuhku masih dengan senyum yang tak jelas.

“Aku tak bisa mengerti

Pada detak nadiku

Saat aku mendekat dan melihatmu

Hanya saja aku mencoba bersikap biasa

Walau akhirnya kamu harus menyimpulkan

Aku orang ter-cuek

Entah ada apa, semoga saja alur takdir

Menyatukan arah hati kita.”

            “Hanya Tuhan yang tahu dan yang akan menjawab semuanya yang telah terjadi,” Kututup buku diary-ku dan mencoba memejamkan mata. Ada getaran bahagia, gelisah, bingung, dan tak percaya di hatiku. Kututup mata dengan merangkai cerita untuk esok pagi. Namun bagaimana dengan takdir Tuhan? Ridha atau tidak pada cerita yang kurangkai?

*****

            Hari ini aku tak punya kesempatan untuk datang ke masjid ataupun untuk bertemu dengan Kak Arul, karena aku sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke pesantren. Ada perasaan yang tak biasanya di hatiku. Bahagia, tapi aku merasa resah dan gelisah. Aku mentap buku diary yang terselip di antara deretan buku dan kitab-kitabku. Aku menghampiri dan membaca tulisan terakhir milik Kak Arul dan mencoretkan pena merah di garis paling bawah.

            “Semoga saja Tuhan mengerti pada semuanya dan memberikan yang terbaik untukku dan untukmu,”

            Kututup buku diary-ku dan menyimpannya kembali.

            “Maaf, Kak, aku takut semuanya akan mengingatkan aku pada dirimu. Aku takut semuanya akan merusak niat yang sudah tertata sejak awal,” batinku meski dengan ketidakrelaanku untuk meninggalkan kenangan dari Kak Arul. Aku menarik nafas dan melepasnya perlahan. Kutarik tas ramselku dan membawanya pergi meninggalkan semua tentang Kak Arul di dalam kamarku. Ayah dan bunda sudah menungguku di mobil. Begitu juga dengan Kaka dan Kiki yang sudah kegirangan juga ikut menungguku. Aku pun masuk ke dalam mobil, meski hatiku memberontak, meminta untuk kembali ke dalam kamar dan mengambil buku diary-ku.

            “Tuhan, izinkan aku melupakannya, walau sejenak, aku hanya tak ingin salah niat dan menggangguku di sana. Jika takdir mengatakan ‘iya’ maka takkan pernah terukir kata ‘tidak’,” seru batinku dalam diamku.

            Mobil pun melaju cepat, Kaka dan Kiki meyanyikan shalawat milik Ahbabul Musthafa yang sering didengar oleh mereka. Ayah dan bunda juga sibuk berbicara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, aku tak ingin tahu dan tak ingin ikut campur. Keheningan hanya terpihak kepadaku. Memikirkan sesuatu yang tak pasti. Tentang Kak Arul, rasa tamanni untukku. Namun aku percaya, rencana Tuham lebih indah dari apa yang aku rencanakan. Aku terus saka menengadahkan wajahku pada tiupan angin yang berhembus. Sesekali kubaca senyum Kak Arul yang melintas di ingatanku, dan terkadang aku mengembangkan pipiku untuk tersenyum ketika mengingat tulisan Kak Arul.

            “I Believe You Allah,” desahku dan menutup kaca mobil lalu mengambil posisi tidur seperti apa yang terjadi pada Kaka dan Kiki, rupanya mereka berdua kelelahan.

*****

            Tiga tahun kemudian

            Sejenak aku terdiam, memandangi udara segar di luar rumah. Aku masih asyik menyirami bunga di depan rumah. Sengaja aku memakai cadar hitamku. Kudengar suara gelak tawa dari kedua adik kembarku yang sudah berumur 10 tahun. Suara mereka semakin dekat dan kini telah berada di sampingku.

            “What are you doing in here?” tanyaku pada mereka.

            “It this,” Kaka memberikan amplop kuning kepadaku.

            “From?” tanyaku heran.

            “From Ustadz, for you,” sahutnya dengan lahjah Inggris yang membuatku terkagum. Aku tersenyum setelah amplop itu ada di tanganku.

            “Next…” celetukku.

            “Nothing,” sahut Kaka lagi.

            “You can to speaking English my brother?”

            “Yes, because nothing to impossible,”

            “Wow, amazing!” seruku.

            “Assalamu’alaikum,” pungkas mereka.

            Aku tersenyum dan menjawab, “Wa’alaikumussalam,”

            Mereka berdua pergi meninggalkanku dengan pekerjaanku yang belum selesai. Aku menyelesaikan tugasku dengan tergesa-gesa. Hanya untuk membaca surat yang kini kupegang erat.

            Pekerjaanku pun berakhir. Aku berjalan dengan tergesa-gesa menuju kamarku. Nadiku berdegup kencang saat aku mulai duduk di bibir Kasur. Aku membukanya dengan gementar. Perlahan, abjad-abjad yang telah terangkai menjadi kata yang telah kutulis rapi telah kulihat dengan jelas;

“Musfiroh Nihlah Ilahiyah”

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

“Wahai utusan bidadari surga

Kurasa, kau telah bangun

Dari lelap istirahatmu yang sejenak

Aku takt ahu mengapa dan ada apa

Hanya saja

Aku terikat rindu untukmu

Meski di sana aku tak tahu tentangmu

Selama 3 tahun ini hatiku meminta untuk menanti

Meski aku takt ahu akan alur takdir tuhan

Pada kehidupan selanjutnya

Aku hanya mencoba berani mengatakan

Malam ini aku akan datang

Mengatakan

‘Khitbahku, untukmu’

Entah apa yang kau pilih

Malam ini aku akan terus melangkah

Menyusuri takdir kelabuku

Hingga terang benar-benar kujalani,”

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Khoirul Anam

            Seusai kubaca, ada selintas angin dingin mendesir seakan memeluk mesra diriku, tubuhku seakan berada di atas awan terbang tanpa beban, tak percaya dengan apa yang telah kubaca. Ternyata kejutan Tuhan lebih indah untukku.

            Malam menjelang. Seusai shalat magrib aku segera masuk kamar, menunggu kedatangan seseorang yang selama ini menjadi impian dalam kehidupanku. Aku mengambil wudhu’ dan melaksanakan shalat sunnah. Setelah itu aku mengambil Al-Qur’an dan mulai membacanya dari ayat ke ayat. Agar nanti gemetar tak mengusikku. Hingga bunda memanggilku dari balik pintu.

            “Fira,” panggil bunda lembar. Aku menghentikan bacaanku dan membuka pintu dengan rasa gemetar. Bunda tersenyum melihat wajahku. Cadar yang kukenakan sejak tadi masih terikat rapi. Aku mengikuti langkah bunda dengan perasaan tak karuan. Sesampainya di ambang pintu ruang tamu, Ummi Salamah menyambutku dan juga ikut membawaku duduk. Aku masih tertunduk bisu di antara Bunda dan Ummi Salamah.

            “Ayo, Nak buka dulu cadarmu,” pinta Bunda.

            “Bismillahirrahmanirrahim,” batinku dan mulai membuka ikatan cadarku.

            “Subhanallah,” seru pria di ujung sana yang sudah pasti itu adalah Kak Arul.

            “Bagaimana Fira, jawabanmu terhadap khitbah saya?” tanya Kak Arul yang terdengar gugup olehku.

            Aku menoleh pada ayah dan bunda. Mereka berdua tersenyum simpul, aku mengerti pada senyuman itu. Aku pun mengambil nafas dan menjawabnya.

            “Maaf, jika menurut sampean saya terlalu gegabah, tapi saya hanya tidak ingin mengulur waktu membuat semuanya berubah tanpa alasan,” sejenak kuberhenti, semuanya terlihat tegang, apa lagi Kak Arul. “Maka dengan lafadz Bismillahirrahmanirrahim, saya terima khitbah sampean,” lanjutku.

            “Alhamdulillah,” serentak mereka bahagia, begitu juga Kak Arul, wajahnya yang begitu cemas kini telah berubah menjadi kebahagiaan.

            Setelah pamit, aku masuk ke dalam kamar. Sedangkan yang lain masih membicarakan hari pertunangan dan tanggal pernikahan kami.

            “Tugan, terima kasih untuk hadiah yang telah engkau kirimkan pada hamba,” pujiku pada Sang Pencipta.

*****

            Tanggal 2 Sya’ban

            Tepatnya hari yang telah ramai oleh kebahagiaan. Malam meniupkan angin pelan, mendamaikan hati yang tengah terguncang bahagia. Kulihat bintang di angkasa sana, sinarnya seakan berkedip mesra padaku, kutatap undangan di depanku, aku tersenyum melihat namaku bersanding dengan nama Kak Arul. Tak henti-hentinya aku mengucapkan pujian dan terima kasih pada Sang Ilahi. Perlahan kuhirup aroma bunga melati yang menyeruak di dalam kamarku, ada rasa tak sabar di hatiku menunggu kedatangan seorang imam yang sudah halal untukku.

            “Tok.. tok.. tok..” ketukan pintu membuatku gemetar.

            “Assalamu’alaikum ya Babur Rahmah,” suara lembut Kak Arul terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu.

            Aku tersenyum dan menjawab salamnya. “Wa’alaikumussalam ya Ahlal Jannah,” jawabku dan mencium punggung tangan kanannya.

            Aku duduk di tempat tidur, Kak Arul mencium mesra keningku dan membacakan doa untukku, sebagaimana yang telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Kak Arul menatapku lekat, aku hanya tersenyum sembari mengernyitkan dahi tak mengerti.

            “Aku ada sesuatu untukmu,” tuturnya masih dengan berwibawa.

            “Apa?” sahutku.

            “Disini,” Kak Arul menunjukan saku jasnya. Ia lalu mengambil tanganku dan memasukan ke dalam sakunya. Di sana aku mendapatkan sesuatu yang berupa bulatan-bulatan kecil, aku pun menariknya.

            “Tasbih?” ujarku

            “Iya, tasbih itu untuk Dinda, untuk teman hidup Kanda. Karena hanya tasbih itu yang selama ini menemani Kanda dalam menunggu Dinda,” sahutnya, aku tersenyum.

            “Itu sesuatu untuk Dinda, dan ini hadiah untuk Dinda,” lanjutnya sambil memperlihatkan kalung yang sangat cantik.

            Aku kembali tersenyum, menahan tangis karena haru.

            “Istriku yang cantik, sekarang dirimu telah halal untukku, begitu juga diriku untukmu. Kini kita sudah menjadi suami istri. Milikku, adalah milikmu, maka jaga dirimu untukku. Masalahmu, adalah masalahku, maka jangan pernah menyimpan sesuatu dariku, dan lainnya,” ucapnya sambil memakaikan kalungnya di leherku. Tak terasa satu bulir air mataku jatuh, Kak Arul pun segera menghapusnya dan kembali mencium mesra keningku.

            “Kanda, maafkan Dinda, malam ini Dinda tak bisa melayani Kanda selayaknya pengantin baru. Karena saat ini, Dinda masih melayani tamu istimewaku,” tuturku padanya.

            Kak Arul hanya tersenyum dan memelukku, membiarkan aku tenggelam dalam pelukannya.

 

Penulis. Putri Andromeda