Ponpesgasek.id—Nama Nyai Saidah Mustaghfiroh mungkin jarang kita mendengarnya, utamanya di kalangan generasi sekarang maupun kalangan santri. Jasanya yang besar dan kesuksesannya dalam menghantarkan anak-anak dan santrinya seakan tenggelam. Jika mengingat nama besar suaminya, Wakil Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, K. H Marzuqi Mustamar. Sesungguhnya, Bu Nyai Saidah punya peran besar dalam menghantarkan anak-anak dan santrinya menjadi orang yang luar biasa.
Meski namanya jarang dikenal oleh masyarakat kebanyakan, di Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Malang wanita asli Lamongan ini mengemban tanggung jawab yang tidak mudah, untuk urusan keluarga dirinya harus mendidik dan membesarkan anak-anaknya menjadi orang hebat seperti sang suami dan keluarga besarnya. Tugas ini lah yang dijalankannya dengan kesadaran bahwa mendidik dan merawat anak merupakan tugas mulia yang wajib dilakukan olehnya. Niatnya mendidik anak benar dijalani sungguhan. Sesibuk apapun dan sepadat apapun jadwal tak boleh mengurangi rasa tanggung jawab kepada anak. Memang benar, anak adalah amanah Allah yang harus diurus hingga dewasa dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu orang tua juga harus mau tirakat khusus.
Dilahirkan dari keluarga terpandang di Lamongan, tidak membuat dirinya jumawa. K. H Ahmad Nur, ayah wanita kelahiran 4 November 1969 ini selalu mengajarkan arti perjuangan dan kesederhanaan semenjak dirinya kecil.
Saat kuliah di IAIN Malang (sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim Malang), wanita yang memiliki 7 anak ini, nyantri di Pondok Pesantren Nurul Huda Mergosono asuhan K. H Masduqi Mahfudz. Di tempat inilah awal ia mengenal sosok suami, K. H Marzuqi Mustamar. Saat itu, Kiai Marzuqi muda mendapat tugas mengajar. Benih-benih cinta mulai tumbuh di kelas diniyah. Ya andai jadi sinetron zaman now, bolehlah kita beri judul “Cintaku bersemi di kelas diniyah.”
Namun, benih cinta itu ternyata tidak berjalan mulus. Sebagaimana santri pada umumnya, jangankan untuk menyapa, ‘menoleh’ pun tidak berani antara keduanya.
Berjalan beberapa bulan kemudian, tatkala Umi Saidah sudah lulus kuliah, perasaan istimewa yang belum tersampaikan itu membuat keduanya sempat berpisah. Pasalnya, Nyai Saidah Mustaghfiroh boyong dari Pondok Pesantren Nurul Huda Mergosono, pindah ke Pondok Langitan untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya.Ya, dirinya adalah seorang hafidzoh.
Usut punya usut, ternyata saat di Pondok Langitan ada dua orang gus, satu dari Malang, satunya lagi dari Lamongan, yang hendak melamar Umi Saidah. Mendengar berita tersebut, Kiai Marzuqi muda tidak mau kalah.
Ditemani teman pondoknya, Mas Mif, lurah Pondok Pesantren Mergosono kala itu, ia berangkat malam-malam naik bus pergi ke Lamongan untuk menemui orang tua dari Umi Saidah, K. H Ahmad Noer di pesantren miliknya, Pondok Pesantren Mambaul Ulum Mayong Lamongan.
Kiai Marzuqi muda, jam 10 malam sampai, langsung disambut suguhan semangka sambil mengutarakan maksud kedatangannya. Karena ada tiga laki-laki yang sudah melamar, sang ayah K. H Ahmad Noer waktu itu tidak langsung menjawab, tetapi ada beberapa kiai yang ditanya dan dimintai pendapat untuk memutuskan.
Di antara yang ditanya adalah Keluarga Ndalem Langitan, K. H Mas Nur Branjangan Sidoresmo, dan Mbah Din Madiun. Dan ternyata, hasil dari istikhoroh kiai-kiai sepuh tersebut, semua sepakat menjawab Kiai Marzuqi muda yang cocok.
Dengan adanya sinyal tersebutlah dilangsungkan pernikahan antara keduanya. Disinilah awal perjuangan itu dimulai. Meski dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan dengan status sebagai Ning, wanita satu ini dengan sabar lebih memilih menemani suaminya hidup di sebuah rumah kontrakan sederhana di daerah Karangbesuki Malang. Baru sehari tinggal di kontrakan, ternyata santri langsung berdatangan.
Singkat cerita, di tahun 2017 masa lampau, Pondok Pesantren Sabilurrosyad berkembang pesat dengan tiga cabang serta ribuan santri dan alumni, tentu tidak lepas dari tangan dinginnya. Berbekal, dirinya yang juga mantan ketua PAC IPPNU, tugas manajerial dilakoninya dengan sangat mempuni. Menurut penuturan Lurah Putri Pondok Pesantren Sabilurrosyad Malang, Mila Lishowabi ditengah padatnya jadwal sang suami K. H Marzuqi Mustamar di luar pesantren, tugas ‘ngarsiteki’ (menjadi arsitek), membeli bahan bangunan, dan hal-hal teknis lainnya dikerjakan langsung oleh Bu Nyai satu ini.
Sosoknya yang bersahaja membuat dirinya disegani, namun tidak mengurangi kedekatan dan kasih sayangnya kepada santri-santrinya. Bahkan, dia sendirilah yang nge-WhatsApp pengurus, santri, dan alumni apabila memang ada sesuatu hal yang patut di ingatkan.
Di antara tirakat yang dilakukan secara istiqomah selain sebagai penghafal Al Qur’an, beliau juga dengan rutin mengamalkan sholawat minimal seribu setiap harinya. Selain itu, banyak santri yang orang tuanya ‘sowan’ ke ndalem karena tidak bisa membayar pondok dan sekolah, langsung di gratiskan. Bukan dengan dana dari lembaga, melainkan dari saku pribadinya.
Itulah mengapa menurut penuturan beberapa pihak kenapa anak-anaknya bisa memiliki kecerdasan yang luar biasa.
Hal ini dibuktikan dengan mondar-mandirnya mereka keluar negeri. Bukan untuk traveling, melainkan untuk mengikuti beberapa event bergensi di beberapa negara. Tak jarang medali emas, perak, dan perunggu seringkali disabet putra putrinya untuk mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Sebut saja salah satu anaknya, Muhammad Izzal Maula. Berkat kepiawaiannya menguasai matematika dan fisika, meski masih umur 18 tahun sudah berhasil memboyong medali perunggu di ajang International Mathematic Contest (ITC) di Singapura pada 2016, dan mendapatkan medali perak di ajang yang sama di tahun 2017, menyingkirkan 2000-an peserta dari 13 negara. Belum lagi cerita keberhasilan santri dan para alumni lainnya.
Dengan pencapaian tersebut, tak mungkin, jika peran ibu dianggap sedikit. Prestasi Nyai Saidah inilah yang patut dimunculkan untuk memberikan inspirasi kepada kaum santriwati di mana pun berada. Terus berjuang tanpa mengenal lelah dan mengeluh menjadi prinsipnya. Memang betul jika ada sebuah ungkapan, dibalik laki-laki hebat selalu ada wanita luar biasa dibelakangnya.
Pewarta : Muhammad Faishol
*Dosen MKDU PAI Politeknik Negeri Banyuwangi, santri mbeling Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Malang. Tulisan ini adalah bagian dari buku Mengapa Harus NKRI tulisan Muhammad Faishol
Untuk pengiriman karya tulis maupun informasi lebih lanjut silakan hubungi admin
0851-83019262 (WA)