Gambar pengantin wanita
Sumber: Pinterest
Ponpesgasek.id – Laki-laki dan perempuan di zaman ini bisa mudah untuk saling berkomunikasi, berorganisasi dan membentuk jaringan komunitas yang luas hingga tak jarang mereka bisa saling berkomitmen untuk menjalin hubungan yang lebih mendalam yakni pernikahan. Meskipun berbeda kota bahkan negara, mereka tetap masih bisa mempertahankan hubungannya dengan baik berkat teknologi. Hal ini bisa terjadi secara alamiah tanpa suatu perjodohan dan paksaan dari siapapun.
Jika dilihat dari peluang dan kesempatan mereka yang lebih besar itu, ternyata juga tak mampu menuju pernikahan yang diimpikan itu. Kenapa? Permasalahan yang sebenarnya tak pelik namun menjadi sulit akan biasa ditemukan di dunia pesantren, keluarga yang masih menjalankan tradisi Islam klasik ataupun tradisi nenek moyang kuno masa kerajaan RA. Kartini. Meskipun banyak ulama yang mengutarakan bahwa pernikahan yang dipaksakan tanpa kesepakatan dari keluarga pelaku yang dijodohkan itu tidak dianjurkan.
لاَ يَجُوْزُ إِكْرَاهُ الْبَالِغَةِ عَلىَ النِّكَاحِ: بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا. وَكَمْ لِلْإِكْرَاهِ مِنْ بَلاَيَا وَنَكبَاتٍ وَعَوَاقِبَ وَخيمَةٍ، إِنَّ الْاِسْلاَمَ يَأْبَاهُ كُلَّ الْإِبَاءِ
Artinya, “Tidak boleh memaksa wanita yang sudah baligh untuk menikah, baik yang masih gadis maupun yang sudah janda. Betapa banyak pemaksaan hanya menimbulkan petaka, bencana, rintangan dan keburukan. Sungguh Islam menolaknya dengan benar-benar menolak.” (Sayyid Muhammad, Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, [Makah al-Mukarramah: 1423], halaman 66).
Dalam hadist tersebut seharusnya sudah bisa dijadikan dalil kuat bagi orang tua dan keluarga yang berusaha ingin menjadi pahlawan kesiangan dengan ikut andil dalam memilihkan jodoh untuk putri kesayangannya.
Buya Hussein dalam bukunya yang berjudul “Fikih Perempuan” menegaskan juga bahwa orang tua atau wali perempuan hanya berhak mengenalkan dan memilihkan jodoh laki-laki untuk perempuannya. Perempuan yang hendak dinikahkan wajib menerima dan menolak tawaran tersebut.
Ironis jika melihat perjodohan yang masih dipraktikkan di beberapa keluarga dan pesantren dimana perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memilih bahkan melihat siapa calon suaminya yang hendak dijodohkan. Lebih parahnya ketika pengucapan ijab kabul perempuan tidak harus hadir di ruang tersebut, karena dikhawatirkan akan menjadi fitnah atas kecantikannya. Terlihat sekali dari kasus itu bahwa perempuan merupakan obyek kecantikan saja dan dianggap tidak penting perihal suara pendapatnya.
Dalam buku “Dari Rahim Aku Bicara” yang ditulis oleh seorang psikolog perempuan yakni ibu Ester Lianawati menyatakan bahwa adat, agama dan nenek moyang telah membuat perempuan mati bicara dan selalu salah dalam pernikahan, baik ketika menolak pernikahan dengan alasan yang rasional atau ketika perempuan itu telah menjalani kehidupan sebagai istri. Perempuan dipaksa tunduk dan patuh hanya kepada laki-laki yang orang-orang sebut sebagai imam.
Penulis menemukan benang merah antara hukum fikih kontemporer yang di perjelas oleh Buya Hussein dan pandangan psikologi perempuan dari masa ke masa. Perihal pernikahan dan jodoh perempuan tetap bisa memiliki hak dan kuasa dalam memilih dengan syarat pilihan itu telah melalui beberapa uji kelayakan dari orang tua dan orang-orang terdekat (kita sebut saja restu). Bukan karena suka dan tidak suka, namun merekalah yang turut membantu beristikharah dengan mencari tahu tentang baik buruknya calon suami, keluarga, nasab, sahabat dekat dan karakter asli sang calon suami. Dari usaha itu si perempuan dapat memiliki sudut pandang yang objektif selain sudut pandangnya sendiri.
Menikah tidak hanya tentang tradisi atau paksaan dari keluarga dan menikah juga tidak hanya tentang cinta, nyaman dan yakin. Namun perempuan masa kini tentu telah mempertimbangkan banyak hal termasuk akhlak, penghasilan dan karir calon suaminya. Yang paling utama dalam menentukan jodoh yakni memperhatikan kesetaraan dan kesalingan antar keduanya. Dimana tidak ada tumpang tindih beban pernikahan antar keduanya. Perempuan hanya perlu lebih berani dalam meyakinkan dirinya dan keluarga bahwa ia bisa mempertanggungjawabkan segala bentuk resiko yang ia pilih di kemudian hari.
Penulis: Laili Faiqoh
Alumni Ponpes Sabilurrosyad Gasek