Ponpesgasek.id – Indonesia, sebuah negeri yang dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa. Julukan ini disematkan karena letaknya yang berada di garis ekuator serta memiliki keindahan alam yang menawan, bagai batu zamrud yang berkilauan. Dari ribuan pulau yang memeluk pantai dan laut, hingga pegunungan yang menjulang tinggi, keindahan alam Indonesia tak pernah habis untuk disyukuri. Bahkan, termasuk dari salah satu seven summits dunia terletak di negara Indonesia, yang biasa dikenal sebagai Cartensz Pyramid atau Puncak Jaya. Apabila berbicara soal keindahan, Indonesia adalah tempat yang cocok untuk diadu. Mengingat begitu banyak keindahan yang tersebar di ribuan pulau.
Namun, sayangnya, keindahan alam ini tidak sejalan dengan kondisi moral dan tata kelola “government”. Bagai zamrud yang kehilangan kilau, kondisi bangsa saat ini seringkali menyisakan kekecewaan. Dekadensi moral, ketidakadilan, dan hilangnya kepercayaan publik menjadi tantangan besar yang mengancam masa depan bangsa.
Kondisi ini tidak luput dari kemerosotan etika di berbagai lini pemerintahan. Mulai dari tingkat terendah hingga tertinggi, kita menyaksikan berbagai praktik yang memudarkan kepercayaan masyarakat. Contoh dalam institusi pemerintahan desa: adanya pengajuan perpanjangan masa jabatan dari dua periode menjadi tiga periode. Di tingkat kementrian, kebijakan dari menteri ESDM tentang “gas melon” hingga menelan korban jiwa.1 Belum lagi adanya penyalahgunaan wewenang, kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan, serta peningkatan indeks persepsi korupsi (IPK) di tahun 2024 telah menjadi pemandangan yang memilukan.2
Kebijakan publik pun sering kali terkesan tergesa-gesa dan tidak berpihak kepada rakyat, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus agraria hingga kebijakan yang menuai kontroversi. Kekesalan masyarakat yang termaktub dalam ungkapan “no viral no justice” menjadi cerminan nyata bahwa keadilan sering kali hanya dapat diakses melalui tekanan publik.3 Hal ini seakan membenarkan anggapan bahwa para pemangku jabatan hanya peduli pada suara rakyat saat berada di bilik suara, kemudian abai setelah kemenangan diraih. Seakan “habis menang, kau kubuang” adalah ungkapan yang mencerminkan pejabat negeri ini.
Belum lagi di event Agustus tahun ini, rilis film animasi “Merah Putih One For All”. Sebuah film animasi bertemakan kebangsaan yang dikabarkan menelan dana 6,7 miliar dan dikerjakan dalam waktu kurang dari tiga bulan.4 Pada dasarnya, masyarakat senang mendapat kabar adanya kepekaan pemerintah terhadap karya seni kreatif berbentuk film animasi. Namun, alangkah indah jika kebijakan diatur sedemikian rupa, mulai dari tim yang memang berkualitas di bidangnya, deadline yang sesuai, serta budget yang memadai. Tujuannya sederhana, agar semua masyarakat bisa menikmati dengan nyaman tanpa kendala kualitas animasi serta tidak menjadi bahan bulan-bulanan publik. Film ini terkesan dibuat sebagai ajang “cuci tangan” pemangku kebijakan.
Kekacauan moral ini menuntut adanya peran aktif dari seluruh elemen bangsa, termasuk masyarakat pun para santri. Sebagai generasi yang dididik dalam lingkungan yang menjunjung tinggi moral dan spiritualitas, santri memiliki tanggung jawab moral untuk turut membangun kembali bangsa. Pendidikan di pesantren bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang pembentukan karakter yang berintegritas dan peka terhadap kondisi sosial. Inilah yang membedakan santri yang ditempa untuk memiliki landasan moral yang kuat, kecerdasan intelektual, dan kepekaan sosial, yang merupakan bekal penting untuk menjadi agen perubahan.
Oleh karena itu, kemerosotan yang terjadi di dalam pemerintahan bukanlah alasan untuk bersikap pesimistis, melainkan panggilan untuk bangkit. Meski sulit mengubah sistem dari luar institusi, ada cara sederhana namun fundamental yang dapat dilakukan seluruh masyarakat: mulai membangun moral dan spiritual, intelektual, kepekaan antara satu dengan yang lain. Selain itu, dapat pula melalui cara membumikan Pancasila, khususnya sila kelima; keadilan sosial. Sila ini merupakan fondasi moral yang menjamin hak-hak setiap warga negara tanpa diskriminasi. Jika nilai-nilai keadilan sosial benar-benar diterapkan, akan tercipta masyarakat yang harmonis, jauh dari egoisme, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Tanggung jawab untuk mempertahankan dan memperbaiki negeri ini adalah tanggung jawab kita bersama. Selaras dengan yang tertuang dalam Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, mempertahankan negara adalah kewajiban setiap umat Islam.
“….mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewajiban bagi tiap2 orang Islam.”5
Meski pada dasarnya resolusi jihad muncul demi menghalau penjajah, kini jihad tidak lagi hanya dimaknai sebagai perang fisik, tetapi juga memiliki arti sebagai bentuk perjuangan tanpa henti untuk menegakkan kebaikan, termasuk memperjuangkan kutuhan, keadilan dan integritas bangsa.6
Hal yang di atas sejalan dengan kaidah fikih,
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب“7″
Suatu kewajiban yang menyempurnakan perkara yang wajib, maka perbuatan tersebut dihukumi wajib. Membangun generasi dengan komoditas yang berintelektual dan bermoral menjadi kewajiban kita semua. Dengan demikian, jihad di era ini adalah upaya kolektif untuk melahirkan generasi emas yang berdaya dan digdaya.
Sudah sepantasnya kita, baik sebagai santri maupun bagian dari rakyat Indonesia, terus berjuang dan mengambil peran. Seburuk apa pun keadaan negeri ini, kewajiban kita adalah menopangnya kembali agar berdiri gagah bersinar. Mungkin memerlukan jerih payah, keringat, bahkan darah, demi membangun generasi yang mapan dan berkualitas. Seluruh elemen yang ada, baik masyarakat pada umumnya maupun santri, harus tetap berjuang, berikhtiar, dan berdoa kepada yang Maha Kuasa agar negara ini selalu sehat, pulih, dan kembali berkilau. Sebagaimana kutipan larik puisi dari Eyang Sapardi Djoko Damono,
“Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.”8
Begitulah cinta tanah air, yang diwujudkan tidak hanya melalui doa, tetapi juga melalui perjuangan dan pengorbanan tanpa akhir. Selayaknya kaum sarungan juga mewujudkan hal yang sama, baik yang dicontohkan oleh para kyai, maupun tokoh lain. Sebagaimana kedigdayaan Gajah Mada sebagai mahapatih yang terus memperjuangkan dan mempertahankan hingga mampu menyatukan nusantara. Dengan terus berusaha, kita berharap bangsa ini bisa kembali pulih dan berdaya.
Oleh karena itu, menjadi santri yang cakap moral serta intelektual adalah kewajiban. Sebab, mempertahankan negara ini membutuhkan kecakapan kedua aspek tersebut. Salah satu aspek hilang, hangus negara ini. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh bapak republik Indonesia, Tan Malaka,
“Kemerdekaan Indonesia hanya dapat dicapai oleh rakyat yang sadar, terdidik, dan berorganisasi. Tanpa pengetahuan dan pendidikan kemerdekaan hanyalah kata kosong.”9
Menjadi santri yang memiliki kecakapan dalam spiritual bagus, namun juga harus diselaraskan dengan pengetahuan dan keilmuan dunia. Sebab hari ini, kebutuhan negara dan masyarakat adalah mereka yang mampu membawa dan menguatkan antara ilmu agama dan IPTEK. Masyarakat tidak hanya butuh yang bersorban, mereka juga butuh santri yang piawai dalam media dan pengetahuan tentang bernegara.
Maka, perjuangan santri tak akan pernah usai. Selama negara Indonesia belum lepas dari krisis moral, selama itu pula santri harus siap ditempa untuk berperang. Demi mengembalikan kilau zamrud yang kian memudar, jika darah adalah bagian yang harus dikorbankan, mati pun tak mengapa.
“Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali”10
Penulis : Muhammad Nur Nizar Raaf
Referensi
1 https://www.republika.id/posts/56599/antrean-gas-melon-makan-korban
2 https://kpk.go.id/id/ruang-informasi/berita/skor-ipk-2024-meningkat-kpk-dorong-penguatan- pemberantasan-korupsi
3 https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/15954/fenomena-no-viral-no-justice-sebagai-kritik- penegakan-hukum
4 https://www.tempo.co/teroka/ragam-kritik-terhadap-film-animasi-merah-putih-one-for-all-2058676
5 https://nasional.kompas.com/read/2021/10/22/16440521/ini-isi-resolusi-jihad-kh-hasyim-asyari-yang-jadi- dasar-hari-santri-nasional?page=all#google_vignette
6 https://mirror.mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/28375/apakah-sebenarnya-makna-jihad/
7 Al-asybah Wan Nadho’ir Lis Suyuthi, Hal : 125
8 https://www.goodreads.com/quotes/858123-dalam-doaku-dalam-doaku-subuh-ini-kau-menjelma-langit- yang
9 Tan Malaka, Naar De Republick Indonesia, 1925
10 Sutardji Calzoum Bachri dalam “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori