Ponpengasek.id – Persemaian dunia perpolitikan kian memanas sejak pasangan calon nomor 2 menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan. Kegembiraan masa transisi ini tidak datang tanpa adanya berbagai konsekuensi, justru angka permasalahan, seperti dilema politik, perdebatan publik, hingga praktik kekerasan terhadap publik menjadi sebuah simbolisme struktural yang mengguncang dan mewabahi masyarakat. Masa pemerintahan presiden dan wakil presiden yang baru hadir menjadi sebuah gerbang yang mengundang ekspektasi, sekaligus kecurigaan. Di satu sisi, relevansi dan aktualisasi visi dan misi menjadi sebuah momentum indah untuk mewujudkan Indonesia emas 2045. Namun, di sisi lain, praktik “abuse of power” atau penyalahgunaan kekuasaan, seperti masalah politik transaksional, integritas, dan legitimasi dalam kinerja pemerintah memberikan ruang yang cukup besar dalam menciptakan keraguan besar bagi masyarakat.
Fenomena ini membungkam makna dari “integritas” itu sendiri. Kehilangan integritas dalam bangku pemerintahan memberi peringatan yang keras terhadap moralitas sebuah bangsa. Transparency International Indonesia (2024) mengungkap bahwa skor corruption perceptions index (CPI) di Indonesia mencapai angka 37/100, meningkat 3 angka dari tahun sebelumnya. Angka tersebut menempatkan indonesia berada di urutan ke-99 dari 180 negara di dunia. Skor ini menunjukkan tingginya kualitas korupsi yang ada di Indonesia. Selain itu, angka partly free atau angka kebebasan dalam demokrasi di Indonesia mencapai angka 56/100, dimana angka political right dan civil liberties masing-masing menyentuh angka 28/40 dan 28/60. Indikasi angka ini membuktikan bahwa demokrasi dan kebebasan berekspresi masih berada dalam angka yang kurang aman (Freedom House, 2025). Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka visi dan misi untuk mencapai Indonesia Emas 2045 akan terhambat, bahkan terancam mengalami kemerosotan.
Menimbang permasalahan tersebut, UUD 1945 pasal 1 ayat 2, yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” mengejawantahkan peran sentral rakyat sebagai pengawas dan penyeimbangan penegakan hukum di Indonesia. Peran tersebut menjadikan rakyat sebagai pengontrol utama (main controller) dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam isu sosial politik, penyingkapan sikap masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia memberikan sebuah fenomena lumrah, seperti halnya penyuaraan hak, demo atas kebijakan baru, atau pemakzulan pemerintah yang kurang kompeten dan kooperatif. Proses check and balance ini yang akan menempatkan sebuah penimbangan keras bagi pemerintah dalam melayani masyarakat. Tanpa keterlibatan masyarakat, abuse of power akan mudah terjadi, pemerintahan akan kehilangan arah dalam mengurus negara. Dengan demikian, masyarakat bukan hanya menjadi subjek pembangunan, melainkan menjadi objek yang menjadi pengawas jalannya pemerintahan.
Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan the country of law tidak terlepas dari berbagai lapisan masyarakat. Santri menjadi salah satu komponen penting dalam pengaktualisasian kompas moral dan penjaga nurani bangsa. Berdasarkan data Kemenag RI (2025), jumlah santri yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia mencapai 3,65 juta dari persebaran 25.000 pondok pesantren. Tradisi pondok pesantren lekat dengan penanaman dan pengimplementasian nilai amanah-suatu kepercayaan untuk dijaga. Nilai amanah tercantum jelas dalam Q.S An-Nisa’ [4]: 58, yang menjelaskan mengenai pentingnya menjaga sebuah kepercayaan dan juga keadilan dalam menetapkan sebuah hukum. Di samping itu, pesantren juga mengajarkan mengenai larangan fasad, yakni tindakan kerusakan atau penyimpangan dari jalan yang benar. Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 205 mengenai larangan berbuat kerusakan. Dialektika santri bukan hanya sebuah kritik kosong yang terlepas dari urusan negara dan nilai agama, melainkan sebuah notifikasi etis bahwa kekuasaan hanya bersifat sementara dan tidak boleh diperlakukan sebagai otoritas mutlak. Justru, dari ruang ngaos, santri bisa berdiri untuk negeri, berdedikasi dalam keadilan, kejujuran, dan kepedulian terhadap masyarakat. Mereka menjadi simbol moral of compass di tengah pesatnya arus pragmatisme kekuasaan yang mengkhawatirkan.
Dialektika santri bukan hanya mengenai suara-suara yang bebas dan tak pemah. direalisasikan, melainkan sebuah kepaduan antara ilmu, amal, dan akhlak. Berlandaskan maqashid al-syariah, yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta-seorang santri dapat mengaktualisasikan perannya melalui gerakan sosial. Zulkifli, et al. (2024) dalam artikelnya menyatakan bahwa peran santri saat ini sangat besar dalam mempertahankan kedaulatan bangsa di era krisis moral. Santri yang mampu memijakkan satu kakinya untuk negara dan satu kakinya untuk agama sehingga keduanya bisa saling menyokong dan menyeimbangkan akan memberikan sebuah kemantapan berpikir dan mengambil tindakan. Dengan ketajaman intelektual dan wawasan keagamaan, santri akan mampu mempertimbangkan mana sebuah tindakan yang akan menimbulkan banyak mudharat dibandingkan manfaatnya apabila dilaksanakan (Azizah, 2021). Dengan demikian, peran santri benar-benar menjadi moral of compass di antara krisis moral di Indonesia.
Kontribusi santri bukan hanya sampai pada transisi penimbangan sebuah masalah, melainkan jauh melebihinya. Dialektika mampu disuarakan melalui beberapa kegiatan, seperti halnya fiqh integritas-sebuah media yang bisa membantu para pejabat dalam mengenal larangan risywah (suap), gharar (ketidakjelasan), dan ihtikar (monopoli), menyelaraskan hukum administrasi dengan prinsip Qur’ani. Gerakan literasi politik juga harus dilaksanakan guna memutus rantai hoax dari ruang publik. Gerakan ini mampu diintegrasikan melalui media online dan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar. Dewasa ini, kesadaran masyarakat atau public awareness menjadi sebuah hal yang harus ditanamkan dalam menghadapi isu-isu politik. Namun, tanpa adanya gerakan pendukung dan penyokong, kesadaran masyarakat akan runtuh dan cenderung akan merujuk kepada aksi anarkis-yang justru dapat memecah belah bangsa. Dengan demikian, peran santri menjadi sangat krusial sebagai morall of compass guna mencegah hal-hal buruk di antara masyarakat dan juga negara.
Melihat dinamika dan isu krisis moralitas dalam pemerintahan di Indonesia memberi sebuah ruang kepada publik dalam membantu mengontrol jalannya pemerintahan. Konstitusi UUD 1945 telah membuka ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan pemerintahan, seperti pemilu, pengawasan publik, dan kegiatan sipil yang menuntut responsibilitas para pejabat negara. Namun, seringkali pragmatisme politik, rendahnya literasi, dan informasi yang tidak akurat melemahkan dan memecah keyakinan masyarakat, alih-alih menjadi pengontrol yang kritis justru mereka tidak bisa dinamis dan responsif. Ketika kontrol masyarakat mulai melemah, abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan mulai tidak terkendali.
Menghadapi masalah tersebut, santri menjadi morall of compass yang membawa nilai Al-Qur’an, seperti al-‘adl (keadilan) dan amanah (tanggung jawab). Berlandaskan intelektualitas dan akhlak, santri menjadi agen penegas terhadap integritas di era krisis moral politik. Sejatinya, bangsa besar tidak pernah runtuh karena lemahnya sebuah ilmu, tetapi rusaknya sebuah akhlak. Saat ini, Indonesia benar-benar menghadapi masalah ini, kasus korupsi, kriminalitas yang tinggi, dan informasi yang tidak akurat, serta lemahnya penegak hukum. Di posisi ini, santri menemukan urgensi, menegakkan konsep al-‘adl dan amanah untuk mencegah krisis moral politik guna mewujudkan bangsa yang merdeka. Dengan demikian, apakah kita hanya akan menonton kerusakan akhlak meruntuhkan bangsa, atau justru menjadi santri yang berusaha menegakkan integritas Indonesia?
Huffadz
Penulis: Ainur
