ponpesgasek.id – Sosok “santri” tidak pernah luput dalam ukiran sejarah Indonesia. Sosok tersebut turut andil dalam pertaruhan keberlanjutan nasib bangsa. Berbekal nilai-nilai keagamaan dan kesantrian menjadikan para santri tangguh menghadapi penjajah. Dilansir dari laman Nu Online, pergerakan santri yang dipimpin oleh para ulama’ menghasilkan memoar juang yang transenden. Bagaimana mungkin kesenjangan kapabilitas perang berupa bambu runcing dapat mengalahkan senapan api? Kompleksitas permasalahan tersebut nyatanya dapat ditamatkan melalui konsistensi ulama’ dan santri dengan perjuangan fisik yang disertai rapalan wirid dan doa tiada henti. Oleh karena itu, kemerdekaan menjadi sebuah hadiah kolektif yang salah satunya dibuahkan dari perjuangan kelompok santri.
Delapan dekade berlalu, akankah kisah-kisah perjuangan santri menyisakan ghiroh perubahan menuju peradaban yang lebih baik? Apabila ditilik dari kacamata media massa, situasi dan kondisi masyarakat Indonesia kini tengah berkecamuk dengan degradasi moral. Diruntut dari awal tahun 2025, terdapat beberapa polemik terkait dugaan kasus korupsi. Sampai-sampai masyarakat menjuluki peristiwa itu dengan sebutan “Klasemen Liga Korupsi Indonesia” (Kompas.com). Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat figur dengan latar belakang sarjana bahkan doktor tidak menjadi jaminan bahwasanya figur tersebut memiliki karakter dan bermoral. Selain itu, ditemukan kasus amoral lain berupa bullying, kekerasan, dan pelecehan yang frekuensinya pada tahun ini terus meningkat, terutama di ranah dunia pendidikan (kemenpppa). Padahal pendidikan merupakan sebuah wadah untuk mencetak generasi yang unggul intelektual sekaligus karakternya. Apabila medianya saja kurang layak, cita-cita bangsa dalam mewujudkan peradaban gemilang rupanya hanya hembusan angin belaka.
Peradaban bangsa perlu dibangun dan dikawal oleh bangsa yang berintelektual dan memiliki stabilitas moral. Arus perubahan zaman akan membawa siapa saja dalam ombang-ambing kehausan hasrat fatamorgana. Hal tersebut menjadi tantangan bagi santri sebagai agen perubahan.
Karantina: Menyiapkan Resiliensi Santri
Dari awal memantapkan niat untuk “nyantri”, seorang santri telah berkomitmen untuk ditempa dalam waktu yang relatif lama serta terdapat batasan-batasan khusus. Batasan-batasan yang dimaksud berupa peraturan-peraturan yang dibuat guna menertibkan santri. Hal tersebut yang menyebabkan proses “nyantri” ini dapat disebut sebagai proses karantina. Seperti yang dijelaskan dalam kitab Alala, keilmuan di pondok pesantren didapatkan secara bertahap melalui tuntunan seorang guru. Selain berperan dalam estafet keilmuan, guru juga berperan sebagai figur yang memberi teladan. Guru merefleksikan nilai-nilai moral dan karakter pada tiap-tiap santrinya. Hal ini bertujuan agar ilmu yang disampaikan dapat digunakan sesuai tuntutan agama dan bernegara.
Sebelum mempelajari kitab-kitab besar dan materi-materi yang kompleks, santri terlebih dahulu ditanamkan dan dibiasakan mengenai penerapan adab. Adab-adab yang dipelajari berkaitan dengan kehidupan keseharian, mulai dari aktivitas sederhana seperti adab makan, adab tidur, adab berjalan, adab berbicara, adab menuntut ilmu, hingga adab berkomunikasi dengan berbagai pihak (orang yang lebih muda, orang yang lebih tua, dan guru). Kehidupan pondok pesantren yang heterogen menjadikan santri sebagai pribadi yang mudah untuk beradaptasi dan menjalin kerja sama yang baik. Adaptasi dan kerja sama yang baik akan tercapai apabila antar sesama santri menanamkan sikap kejujuran, disiplin, tanggung jawab, berani, dan toleransi. Rangkaian proses karantina santri di pondok pesantren pada dasarnya merupakan upaya dalam membangun pondasi jati diri santri yang kokoh dan tangguh sebelum membaur dalam masyarakat.
Aktualisasi Santri dalam Bermasyarakat
“Urip iku sejatine nguripi”
Filosofi di atas seakan-akan mencerminkan fundamental kehidupan santri pasca boyong dari pesantren. Selepas melampaui replika kehidupan bermasyarakat di pondok pesantren, santri dituntut memberi warna dalam kehidupan masyarakat riil. Santri tidak bisa hanya sebatas hidup untuk dirinya sendiri. Kontribusi dalam bermasyarakat dan bernegara juga diperlukan sebagai bentuk khidmah. Realisasi dari keilmuan dan karakter selama karantina di pondok pesantren akan diuji. Sejauh mana santri dapat beradaptasi dan berbaur dalam masyarakat yang lebih heterogen lagi.
Bentuk khidmah santri di masyarakat tidak dapat disamaratakan. Ibarat selera makanan, antara seorang individu dengan individu lain pasti memiliki selera yang berbeda. Ada yang menyukai makanan pedas, karena sensasinya dapat menambah nafsu makan. Ada juga yang menyukai makanan manis, karena dapat mendatangkan rasa kebahagiaan. Begitu juga dengan santri, terdapat santri yang berkhidmah lewat mengajar Madrasah Diniyah dengan pemahaman kitab alfiyah yang sudah di luar otak. Ada juga santri yang memberdayakan dirinya lewat konten-konten dakwah, karena pernah menjadi PDD abadi selama di pondok.
Ragam khidmah santri dapat menjamin nilai-nilai karakter dan moral yang nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat luas. Agar nilai-nilai tersebut mudah tersampaikan, perlu dibalut dengan pendekatan yang menyesuaikan tuntutan zaman dan masyarakat sasaran agar tidak menyimpang.
Figur Resiliensi Santri
Kebertahanan dan keberdayaan santri dalam situasi perubahan yang semakin cepat dapat dikatakan berhasil apabila santri tidak kehilangan jati diri kesantriannya. Keberhasilan tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai batu loncatan untuk bisa mengajak dan mempengaruhi masyarakat dalam lini kehidupan. Perlahan tapi pasti, lewat tulisan-tulisan ilmiah yang memuat nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab seorang pelajar harapannya dapat menjadi rujukan masyarakat luas untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dan karakter bangsa. Salah satu figur santri yang mempraktikan hal tersebut yakni Gus Nadirsyah Husein yang saat ini mengajar di Universitas Meulborne. Selain itu, ada juga Husain Basyaiban dengan konten-konten menggelitik yang biasanya membahas fenomena yang viral di kalangan gen Z. Fenomena tersebut dijadikan bahan konten yang kemudia dibahas dan dikaitkan dengan kesesuaian nilai-nilai karakter dan moral yang berlaku dalam islam.
“Mengudaralah yang jauh
Dimanapun jaga paruh
Sayapmu jangan sampai lusuh
Pulang jika kau rindu”
Cuplikan lagu “Mengudara” Idgitaf sangat cocok disandingkan sebagai pemantik semanagat bagi para santri untuk berperan dalam membangun peradaban sesuai dengan nilai-nilai moral dan karakter bangsa.
Penulis: Revina Lutfi Al Fathi