Website Resmi Ponpes Sabilurrosyad Gasek Malang

Khidmah Konten dari Pesantren

Memahami Relasi di Pesantren: Antara Feodalisme dan Hikmah

Ponpesgasek.id – Belakangan ini, media sosial ramai membahas kehidupan santri di pesantren yang dianggap mencerminkan praktik “perbudakan modern.” Pandangan tersebut muncul karena para santri kerap terlihat membantu kebutuhan kiai atau menjalankan berbagai pekerjaan pondok tanpa imbalan material. Sebagian masyarakat menilai hal ini sebagai bentuk ketimpangan sosial. Namun, untuk memahami fenomena tersebut secara utuh, penting membedakan antara konsep feodalisme dan nilai hikmah yang menjadi dasar kehidupan pesantren.

Secara umum, feodalisme dikenal sebagai sistem sosial yang menempatkan kekuasaan dan status sebagai penentu posisi seseorang. Menurut Mulya (2014), feodalisme merupakan bentuk tatanan sosial dan politik yang telah ada sejak lama, ditandai oleh relasi hierarkis antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Dalam sistem ini, seseorang sering kali kehilangan otonomi karena peran sosialnya ditentukan oleh kedudukan, bukan oleh kemampuan atau nilai pribadi. Jika hubungan antara kiai dan santri dilihat hanya dari kacamata feodalisme, maka muncul kesan bahwa santri berada pada posisi yang lebih rendah dan hanya berperan melayani.

Namun, dalam tradisi pesantren, hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat hierarkis, melainkan berakar pada nilai-nilai keilmuan dan adab. Hikmah yang kita tahu yaitu relasi berdasarkan ilmu dan adab. Dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, al-Zarnuji mengaitkan hikmah dengan adab dan pengamalan ilmu yang mana hikmah berarti kemampuan mengintegrasikan pengetahuan dan amal dalam bingkai ketakwaan, sehingga ilmu memberi manfaat (al-ʿilm al-nafiʿ) dan membawa seseorang kepada kebenaran (ḥaqq). Dengan demikian, praktik membantu atau melayani di lingkungan pesantren dapat dimaknai sebagai bagian dari proses pendidikan karakter dan pembentukan keikhlasan, bukan sekadar relasi kuasa. Santri belajar melalui pengabdian dan keteladanan, sementara kiai berperan sebagai pembimbing spiritual dan intelektual.

Dalam konteks ini, pesantren dapat dipahami bukan sebagai sistem kekuasaan, tetapi sebagai sistem pembelajaran yang menekankan nilai moral, kemandirian, dan penghormatan terhadap ilmu. Perbedaan persepsi antara pihak luar dan internal pesantren sering muncul karena sudut pandang yang berbeda terhadap praktik sehari-hari di lingkungan tersebut.

Sebagai penutup, feodalisme dan hikmah memiliki landasan yang berbeda. Feodalisme berangkat dari keinginan untuk menguasai, sedangkan hikmah berangkat dari dorongan untuk memahami dan memperbaiki diri. Keduanya bisa tampak serupa dalam bentuk luar—yakni adanya penghormatan atau kepatuhan—namun berbeda dalam makna dan tujuan. Pemahaman yang seimbang diperlukan agar kritik terhadap praktik sosial di pesantren tetap berlandaskan pada fakta dan konteks yang tepat.

Penulis : Moh. Bastuta Shomad Al-ilmi