Ponpesgasek.id — Dasar penentuan awal bulan Hijriah khususnya pada awal Ramadan dan awal Syawal adalah beberapa hadis, yang menjelaskan bahwa berpuasa dan beridulfitri dengan melihat hilal. Namun ketika hilal tertutup mendung, dalam akhir hadis ada yang menggunakan kalimat genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari (fa akmilu ‘iddah)”, dan kira-kirakanlah hilal (Faqduru Lahu)”.
Ibn al-‘araby mengutip dari pendapat Ibnu Suraij dalam kitab Fathul Bary Syarh Shahih Bukhary (Ibnu Hajar Al-Asqalany), menjelaskan bahwa kalimat fa akmilu al-‘iddah merupakan khitab bagi masyarakat umum, sedangkan kalimat faqduru lahu adalah khitab kepada orang-orang yang mempunyai ilmu hisab.
Imam Abu Ja’far At-Tawawi menjelaskan bahwa kalimat faqduru lahu mengandung arti bahwa penentuan awal bulan Hijriah boleh menggunakan hitungan perjalanan Bulan, sesuai dengan firman Allah pada surat Yasin ayat 39 dan surat Yunus ayat 5 Juga Imam Najmudin berpendapat tidak ada salahnya berpegang pada pendapat ahli perbintangan, dan menurut Muhammad Rasyid Ridha dalam kitab tafsirnya al-Manar bahwa penentuan awal bulan Ramadan dan syawal menggunakan hisab seperti halnya penentuan waktu salat lima waktu, karena sulitnya melihat hilal yang bentuknya seperti benang.
Pemaknaan kalimat faqduru lahu dijelaskan dalam beberapa syarah kitab hadist maupun kitab fikih, menurut Imam Malik, Syafi’i, al-Auza’i, Abu Hanifah, ulama ahli hadis dan mayoritas ulama mempunyai makna memntukan bulan Ramadan atau bulan Syawal dengan menyempurnakan hitungan bulan sebelumnya menjadi tiga puluh hari (istikmal), Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal bermakna menjadikan bulan sebelumnya berumur 29 hari dan menentukan hilal berada di bawah awan, sedangkan menurut Ibnu Suraij, Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Qutaibah dan al-dawadi memaknai menentukan ukuran hilal dengan berdasarkan letak dan posisinya. al-Qalyubi mengartikan rukyat dengan imkanur rukyat (posisi hilal yang mungkin dapat dilihat) yang berdasarkan hisab qath’i. Sehingga kaitan dengan rukyat, posisi hilal pada tiga keadaan yaitu: (1) hilal tidak mungkin dilihat (istihalah ar-rukyah), (2) hilal mungkin dapat dilihat (imkanur ar-rukyah), (3) hilal pasti dapat dilihat (al-Qath’u bir rukyah). Berkaitan dengan posisi hilal masih Istihalah ar-Rukyah, jika ada orang yang bersaksi telah melihat hilal sementara hisab menunjukkan bahwa hilal dibawah imkanurukyat maka kesaksiannya ditolak.
Secara umum ada dua cara dalam menentukan awal bulan (termasuk menentukan Hari Raya Idul Fitri)
– Cara yang pertama adalah dengan melihat hilal (Ru’yatul Hilal).
Hilal adalah penampakan bulan yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah bulan mengalami ijtimak, biasanya berbentuk bulan sabit dan cukup tipis.
Ru’yatul Hilal dalam menentukan hari Raya idul Fitri dilakukan sore hari pada tanggal 29 ramadhan, apabila hilal terlihat menjelang atau setelah matahari terbenam (maghrib) maka bisa dipastikan keesokan harinya adalah hari raya (Setelah hasil tersebut dilaporkan dalam sidang itsbat pemerintah).
Apabila hilal tidak terlihat maka bulan Ramadhan disempurnakan 30 Hari (istikmalussyahr)
Keterangan : Satu bulan dalam kalender hijriyah adalah 29/30 hari
– Cara yang kedua adalah dengan hisab.
Hisab secara harfiah adalah perhitungan.
Dalam ilmu agama Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat (Kalender waktu sholat). Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah.
– Bagaimana seandainya terjadi perbedaan diantara Ru’yatul Hilal dan Hisab?
Ru’yatul Hilal dan Hisab adalah 2 disiplin ilmu yang berbeda, jika hisab mendahului ru’yah itu bukanlah masalah yang diperselisihkan, karena hisab adalah qoth’iy sedangkan ru’yah adalah pandangan seseorang secara nyata, namun yang jadi masalah ketika ru’yah mendahului hisab ini tergolong hal yang diperselisihkan.
Sehingga tidak ada pemberbedaan diantara 2 disiplin ilmu tersebut, karena yang selama ini menjadi perbedaan adalah imkanur ru’yah yang sekarang menjadi 3°64′ (mengikuti New Mabims).
– Apakah boleh menggunakan ilmu hisab dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri ?
Diperbolehkan bagi ahli hisab (falak) dan orang yang taqlid padanya untuk menggunakan hasil hitungan hisabnya. (Paling mudah dengan cara taqlid pada kalender yang mu’tabar ilmu hisabnya)
Kesimpulan : Karena di Indonesia sudah ada menteri agama yang mengurusi hari raya dalam sidang itsbat, alangkah baiknya kita ikut pemerintah saja, ilmu hisab kita gunakan untuk membantu mengetahui letak dan posisi bulan dalam Ru’yatul Hilal secara langsung.
Nb : Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama (NU) dalam penentuan awal bulan Hijriah hanya dapat ditetapkan dengan merukyat hilal pada tanggal 29. Bila tidak berhasil melihat hilal, maka bulan tersebut digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Dan menggunakan hisab kriteria imkanur rukyat dengan ketinggian hilal minimal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat. Jika secara hisab bahwa posisi hilal berada di bawah nilai tersebut dan ada yang mengaku melihat hilal maka kesaksiannya dapat tertolak.
Sedangkan Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan Hijriah menggunakan kriteria hisab hakiki wujudul hilal, yaitu secara hisab telah terjadi ijtimak sebelum matahari terbenam dan pada saat terbenamnya Matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk, kriteria ini pemahaman dari al-Quran surat Yasin ayat 39-40. Kementerian Agama Republik Indonesia melalui surat edaran Nomor B-79/DJ.III/HM.00/02/2022 perihal pemberitahuan penggunaan kriteria imkanur rukyat MABIMS Baru. yang menggunakan dua parameter yaitu tinggi Bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat, dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan negara-negara MABIMS (Menteri Agama Brunai Darusalam, Indonesia, Malasia, Singapura) tentang kriteria MABIMS Baru di Indonesia pada tahun 2022 M/1443 H.
Referensi :
(ﻣﺴﺌﻠﺔ ﻛ) ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻤﻨﺠﻢ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﻳﺮﻯ ﺃﻥ ﺃﻭﻝ اﻟﺸﻬﺮ ﻃﻠﻮﻉ اﻟﻨﺠﻢ اﻟﻔﻼﻧﻰ ﻭاﻟﺤﺎﺳﺐ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻣﻨﺎﺯﻝ اﻟﻘﻤﺮ ﻭﺗﻘﺪﻳﺮ ﺳﻴﺮﻩ اﻟﻌﻤﻞ ﺑﻤﻘﺘﻀﻰ ﺫﻟﻚ ﻟﻜﻦ ﻻ ﻳﺠﺰﻳﻬﻤﺎ ﻋﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻟﻮ ﺛﺒﺖ ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻨﻪ ﺑﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻬﻤﺎ اﻹﻗﺪاﻡ ﻓﻘﻂ ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻰ اﻟﺘﺤﻔﺔ ﻭاﻟﻔﺘﺢ ﻭﺻﺤﺢ اﺑﻦ اﻟﺮﻓﻌﺔ ﻓﻰ اﻟﻜﻔﺎﻳﺔ اﻹﺟﺰاء ﻭﺻﻮﺑﻪ اﻟﺰﺭﻛﺸﻰ ﻭاﻟﺴﺒﻜﻰ ﻭاﻋﺘﻤﺪﻩ ﻓﻰ اﻷﻳﻌﺎﺏ ﻭاﻟﺨﻄﻴﺐ ﺑﻞ اﻋﺘﻤﺪ ﻣ ﺭ ﺗﺒﻌﺎ ﻟﻮاﻟﺪﻩ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻭﻋﻠﻰ ﻣﻦ اﻋﺘﻘﺪ ﺻﺪﻗﻬﻤﺎ ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬا ﻳﺜﺒﺖ اﻟﻬﻼﻝ ﺑﺎﻟﺤﺴﺎﺏ ﻛﺎﻟﺮﺅﻳﺔ ﻟﻠﺤﺴﺎﺏ ﻭﻣﻦ ﺻﺪﻗﻪ ﻭﻫﺬﻩ اﻵﺭاء ﻗﺮﻳﺒﺔ اﻟﺘﻜﺎﻓﺆ ﻓﻴﺠﻮﺯ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﺎ ﻭاﻟﺬﻯ ﻳﻈﻬﺮ ﺃﻭﺳﻄﻬﺎ ﻭﻫﻮ اﻟﺠﻮاﺯ اﻹﺟﺰاء ﻧﻌﻢ ﺇﻥ ﻋﺎﺭﺽ اﻟﺤﺴﺎﺏ اﻟﺮﺅﻳﺔ ﻓﺎﻟﻌﻤﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻻ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻗﻮﻝ
ﺷﺮﺡ اﻟﺒﻬﺠﺔ : 2 ﺻ : 204 ( ﻳﺜﺒﺖ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ) ﻟﻠﺼﻮﻡ ( ﺑﺄﺣﺪ ﺃﻣﺮﻳﻦ ) ﺇﻣﺎ ( ﺑﺎﺳﺘﻜﻤﺎﻝ ﺷﻌﺒﺎﻥ اﻟﻌﺪﺩ ) ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻟﺨﺒﺮ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ { ﺻﻮﻣﻮا ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺃﻓﻄﺮﻭا ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻓﺈﻥ ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺄﻛﻤﻠﻮا ﻋﺪﺓ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺛﻼﺛﻴﻦ } ( ﺃﻭ ﺭﺅﻳﺔ اﻟﻌﺪﻝ ) اﻟﻮاﺣﺪ ( ﻫﻼﻝ اﻟﺸﻬﺮ ) اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ { ﻟﻘﻮﻝ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﺧﺒﺮﺕ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻲ ﺭﺃﻳﺖ اﻟﻬﻼﻝ ﻓﺼﺎﻡ ﻭﺃﻣﺮ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﺼﻴﺎﻣﻪ } ﺭﻭاﻩ ﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﻭﺻﺤﺤﻪ اﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ . ﻭاﻟﻤﻌﻨﻰ ﻓﻲ ﺛﺒﻮﺗﻪ ﺑﺎﻟﻮاﺣﺪ اﻻﺣﺘﻴﺎﻁ ﻟﻠﺼﻮﻡ ﻭﻃﺮﻳﻘﺔ اﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﻻ اﻟﺮﻭاﻳﺔ , ﻓﻴﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻪ ﻛﻤﺎ ﺳﻴﺄﺗﻲ ﻓﻲ اﻟﻘﻀﺎء ﺻﻔﺔ اﻟﺸﻬﻮﺩ , ﻭاﻷﺩاء ﻋﻨﺪ اﻟﻘﺎﺿﻲ ﻟﻜﻦ ﺻﺤﺢ ﻓﻲ اﻟﻤﺠﻤﻮﻉ اﻻﻛﺘﻔﺎء ﺑﻈﺎﻫﺮ اﻟﻌﺪاﻟﺔ , ﻭﻫﻮ اﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﺰﻙ ﻭﻫﻲ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﺣﺴﺒﺔ ﻻ ﺗﺘﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺩﻋﻮﻯ ﻭﻳﻜﻔﻲ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻧﻲ ﺭﺃﻳﺖ اﻟﻬﻼﻝ ﻛﻤﺎ ﺻﺮﺡ ﺑﻪ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻨﻬﻢ اﻟﺮاﻓﻌﻲ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ اﻟﻌﻴﺪ ﺧﻼﻓﺎ ﻻﺑﻦ ﺃﺑﻲ اﻟﺪﻡ ﻗﺎﻝ : ; ﻷﻧﻬﺎ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻞ ﻧﻔﺴﻪ ﺇﻩـ ( ﻗﻮﻟﻪ : ﻳﺜﺒﺖ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ) ﺃﻱ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ اﻟﻌﻤﻮﻡ ﻓﻼ ﻳﺮﺩ ﻋﻠﻰ اﻟﺤﺼﺮ ﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ اﻋﺘﺒﺎﺭ ﻣﻔﻬﻮﻡ اﻟﻌﺪﺩ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﻳﺜﺒﺖ ﺑﺎﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻋﻨﺪ اﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ اﻟﺒﻴﻨﺔ , ﻭاﻟﺮﺅﻳﺔ ( ﻗﻮﻟﻪ : ﻟﻠﺼﻮﻡ ) ﻻ ﻟﻨﺤﻮ اﻟﻄﻼﻕ اﻟﻤﻌﻠﻖ ﺑﻪ ﻧﻌﻢ اﻷﻣﺮ اﻷﻭﻝ ﻳﺜﺒﺖ ﺑﻪ ﻏﻴﺮ اﻟﺼﻮﻡ ﺃﻳﻀﺎ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻇﺎﻫﺮ ( ﻗﻮﻟﻪ : ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ) ﺑﻴﺎﻥ ﻟﻠﻌﺪﺩ ( ﻗﻮﻟﻪ : ﺃﻭ ﺭﺅﻳﺔ اﻟﻌﺪﻝ ) ﻇﺎﻫﺮﻩ ﻭﺇﻥ ﺩﻝ اﻟﺤﺴﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻋﺪﻡ ﺇﻣﻜﺎﻥ اﻟﺮﺅﻳﺔ ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻃﺮﻳﻘﺔ اﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ) ﺃﻱ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ اﻟﺜﺒﻮﺕ اﻟﻌﺎﻡ ﻓﻼ ﻳﺮﺩ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ اﻋﺘﻘﺪ ﺻﺪﻕ ﻣﺨﺒﺮﻩ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻘﺒﻮﻝ اﻟﺮﻭاﻳﺔ ﺇﻩ
____
Penulis adalah santri biasa (bukan ahli falak) yang sedikit banyak mengetahui metode hisab terutama metode dalam kitab Sulamun Nairoin. Penulis juga merupakan beberapa kali mengikuti Ru’yatul Hilal bersama tim Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama dari PCNU Kota Malang.
Pentashih :
Ustadz Agus Mahsus Izzi Arifin
(Lajnah Falakiyyah sekaligus Pengajar Ilmu Falak dan Hisab PP. Al Falah Ploso)