Ponpesgasek.id – Di sebuah kelas sederhana, sebuah pertanyaan menggema: “Akhlak lebih tinggi dari ilmu? Yakin?” Pertanyaan ini bukan sekadar perdebatan teoretis, ia adalah refleksi tentang Indonesia yang tengah terperangkap dalam krisis moral yang semakindalam. Saya percaya, jawaban atas pertanyaan ini adalah kunci untuk menyelamatkan masa depan bangsa: akhlak dan ilmu adalah dua pilar yang tak bisa dipisahkan, dan keduanya harus dipupuk bersama-sama.
Kondisi Indonesia saat ini layaknya kapal yang terombang-ambing di lautanmasalah. Korupsi yang merajalela, konflik antarumat beragama yang meningkat, penyebaran berita hoaks yang memecah belah menjadi bukti bahwa pengetahuantanpa landasan moral adalah bencana. Banyak dari kita yang berlebel pintar, memiliki gelar, dapat mengakses informasi luas, tetapi perilaku kita tidak sejalan dengan nilai- nilai yang benar.
Saya sering bertanya-tanya, mengapa seorang penjabat dengan gelar doktor tega melakukan korupsi? Mengapa influencer dengan follower ribuan menyebarkanujaran kebencian? Jawabannya sederhana, ilmu yang mereka miliki tidak diiringi dengan akhlak. Pengetahuan yang tidak diarahkan untuk kebaikan, akhirnya akanmenjadi pisau bermata dua. Bisa mengiris orang lain atau bahkan diri sendiri.
Dalam sebuah kitab kuning bernama Fathul Qarib tertulis, “Barangsiapa menginginkan kebaikan, Allah akan memberinya pemahaman tentang agama.” kata- kata ini bukan sekadae pepatah tapi sebuah hukum alam. Orang yang benar-benar ingin menjadi baik, pasti akan mencari pengetahuan yang benar untuk membimbing perbuatannya.sebaliknya, orang yang hanya “pintar” tapi tidak memiliki tujuan kebaikan, akan menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang destruktif. Ahklak, dalamhal ini, adalah kompas yang mengarahkan kita ke jalan yang benar untuk menggunakan pengetahuan.
Namun, akhlak saja tidak cukup. Tanpa ilmu, akhlak bisa menjadi “kebaikanyang buta.” Tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Saya teringat sebuahcerita dari salah satu kitab yang saya pelajari. Kitab tersebut menceritakan, adaseorang pemuda yang diberikan tiga pilihan. Yakni kekuasaan, kekayaan, atau ilmu. Pemuda itu memilih ilmu. Dan hasilnya? Ia tidak hanya mendapatkan pengetahuan, tetapi juga kekuasaan sekaligus kekayaan.
Cerita ini bukan mitos. Ia adalah metafora. Ilmu adalah kunci untuk membukapintu-pintu kebaikan. Tanpa pengetahuan, kita tidak akan tahu cara mengelolakekayaan dengan adil atau menggunakan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, ilmu yang dilandasi akhlak akan menghasilkan tindakan yang bermakna. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Situasi yang kita lihat di Indonesia pada saat ini merupakan satu contoh nyatadari “ilmu tanpa akhlak” yang berujung pada kehancuran. Para koruptor, mereka mahir memanipulasi sistem, tetapi tidak memiliki akhlak untuk tidak mengambil yangbukan haknya. Para menyebar hoaks, mereka lihai dalam mengggunakan media sosial, tapi tidak memiliki akhlak untuk tidak memecah belah.
Ini bukan masalah “kurang pintar”. Ini masalah “pintar tapi tidak bermoral”. kita telah salah memprioritaskan nilai rapor, gelar, atau popularitas, daripadapembentukan karakter. Masih banyak dari kita yang lebih melihat hasil daripada usahanya. Sehingga cara-cara curang seperti mencontek atau membagikan jawabansaat ujian menjadi satu contoh kecil dari banyaknya orang yang kurang paham arti moral yang sesungguhnya.
Untuk keluar dari krisis ini, kita perlu mengubah cara kita memandangpendidikan dan kehidupan. Ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil. Salahsatunya memberikan pendidikan yang “berakal dan berakhlak”. Sekolah tidak hanyatempat untuk menjadi “pintar” tapi harus menjadi laboratorium akhlak. Pembelajarantidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga penerapan. Dengan cara ini, siswa akan merasakan langsung bahwa ilmu yang mereka pelajari bermanfaat, sehinggamereka termotivasi untuk memilikinya dengan akhlak yang baik.
Langkah lain yang bisa diambil adalah revitalisasi lembaga pembentukanakhlak. Pesantren, majelis taklim, atau kelompok diskusi keagamaan adalah tempat akhlak dan ilmu dipadukan. Di sana kita bisa belajar, tidak hanya secara materi tapi juga melalui tindakan nyata. Kita belajar cara menghormati dan taat kepada guru, carahidup dalam kesederhaan, dan cara bersosialisasi dengan baik karena di sana kita pasti bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Pemerintah dan masyarakat perlu mendukung lembaga-lembaga ini denganlebih banyak. Tidak hanya memberikan izin, tetapi juga fasilitas, guru berkualitas, danpengakuan bahwa mereka adalah bagian penting dari sistem pendidikan kita. Karenaseorang santri yang menghabiskan waktunya untuk belajar di pesantren lebih seringdianggap ketinggalan zaman atau memiliki keilmuan yang lebih rendah dari yangbelajar di sekolah formal.
Padahal, pada kenyataannya belajar di pesantren bisa membantu kita untukmelihat dunia dengan lebih luas dan lebih bijak. Ini disebabkan oleh perpaduan antara akhlak dan ilmu yang menyatu dengan baik. Pesantren sama sekali tidak ketinggal zaman, tapi pesantren bisa menjadi salah jalan untuk membentuk generasi muda menjadi lebih baik.
Jika kita berhasil membentuk generasi berilmu dan berakhlak, Indonesia bisamenjadi negara yang tidak hanya kaya sumber daya, tetapi juga bermartabat. DalamIslam sendiri menimba ilmu termasuk ibadah yang paling baik. Tidak ada kataterlambat untuk belajar dan tidak ada batasan mau sebanyak apa ilmu yang maudi cari. Asalkan digunakan dengan baik, ilmu paling jahat pun bisa memberikan banyak manfaat.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Jadilah orang yang “pintar” tapi juga “baik.”Dan mari kita dorong lingkungan sekitar kita seperti keluarga, teman, dan masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Dengan cara ini, Indonesia tidak hanya akan “maju”secara ekonomi, tetapi juga “maju” secara moral.
Penulis: Luk Luk Ilma Nafiah, Komplek C
